🐂 Maryam Bunda Suci Sang Nabi Pdf

Danjanganlah anda bertanya, sastra kebaikan/kebajikan pada sang pendeta, pada waktu Purwani, pahalanya tidak baik, akan disusupi oleh Sang Kala-kali pada Risminawati M.Pd. (2015) Analisis Penanaman Pendidikan Karakter 4 Sifat Nabi “SAFT” Pada Buku Siswa Kelas 4 Tema 1 “Indahnya Kebersamaan” Kurikulum 2013. Skripsi thesis, Universitas Muhammadiyah Surakarta. ARTHASARI, Dian Ayu Ara and , Ratna Yuliani, M. Biotech. St. Article Nano Nurdiansah, - (2021) MODEL PEMBELAJARAN PROYEK KEARIFAN KAMPUNG NAGA UNTUK MENGEMBANGKAN EKOLITERASI SISWA SEKOLAH DASAR. Journal of Physics: Conference Series, 1318 (1). pp. 1-4. ISSN 1742-6596 Book. Syihabuddin, - (2021) Proceeding The 5th International Seminar On Social Studies and History Education (ISSSHE) 2020: Promoting Rofi M (1999) STUDI KORELASI ANTARA PENGGUNAAN METODOLOGI PENGAJARAN AGAMA (MPA) DENGAN MOTIVASI BELAJAR SISWA DI SD AL-HIKMAH GAYUNGSARI SURABAYA. Undergraduate thesis, IAIN Sunan Ampel Surabaya. Rofiah, Ainun (2015) Pengarusutamaan Gender (Gender Mainstreaming) dalam Kebijakan Pendidikan Islam Tahun 2010-2014. blogini ditujukan bagi orang-orang yang ingin menyatakan bahwa Yesuslah dibuat pada tanggal 25 desember 2009, jam 10:10 PM dengan tujuan: 1. Memberikan bacaan2 rohani. 2. Sharing tentang Firman TUHAN lewat Alkitab. 3. Memberikan informasi lain sesuai permintaan dari member. Yesus kristus adalah pribadi roh kudus yg tak MartirSuci Longinus Sang Perwira yang berdiri dekat salib (abad 1) Martir Suci Sergios dan Bakkhos (284-305 M) Murid Kudus dan Penginjil Lukas; Nabi Suci Hosea ( 820 SM ) Paul Si Sederhana dari Mesir ( Abad ke-4) Js. Matias, Sang Rasul; TERTIDURNYA BUNDA MARIA; September. PERINGATAN PEMENGGALAN KEPALA NABI MULIA, YOHANES MaryamBunda Suci Sang Nabi . Buku ini beerisi cerita keteladanan , keteguhan ,kesabaran dan kecintaan seorang ibu kepada perintah Allah. Tersimpan di: Main Author: Sibel Eraslan (-) Format: Terbitan: Jakarta : Kaysa Media, 2014. Subjects: Fiksi turki. Online Access: Postentang Kelahiran Yesus yang ditulis oleh Tausiyah In Tilawatun Islamiyah faith Download. fatawa on the rulings of the athaan. Download. fiqhus sunnah-sayyid sabiq. Download. fortification of the muslim through the remembrance and supplication from the quran and the sunnah. Download. forty hadeeth qudsi. 0lQw. Tuhan. Bahkan, ia sendiri telah membenahi pakaian dan perbekalan yang telah disiapkan untuknya. Maryam juga meletakkan pita pengikat rambutnya ke dalam kantong perbekalannya, meski kemudian diambil kembali. “Aku tidak mungkin bisa mengikat rambutku sendiri dengan pita ini. Biarlah pita ini untukmu saja, Merzangus.” Sambil tersenyum, Maryam mengulurkan pita pengikat rambut itu. Merzangus pun tak kuasa menahan tangis. Ia pun menunduk untuk mendekap Maryam erat-erat selama beberapa saat. Setelah agak lama, Merzangus akhirnya sadar. “Tunggu. Biar aku rias rambutmu dengan pita ini.” Merzangus menyisiri dan membelai rambut Maryam yang hitam, panjang, berkilau, serta menyemerbakkan wangi mawar sambil melantunkan puji-pujian. -o0o- Hari itu adalah malam pertama bagi Maryam tinggal seorang diri di Baitul Maqdis. Tidak ada orang yang tahu kedatangannya selain Nabi Zakaria dan beberapa rahib. Meski tak diberi informasi, Mosye akhirnya mengetahui pula. Entah dapat bocoran dari mana. Setelah menempatkan Maryam yang masih kecil di dalam Baitul Maqdis dalam suatu ruangan di sebelah selatan, Nabi Zakaria pun meninggalkannya untuk kembali ke rumah. Sayang, semua orang tidak tahu saat Mosye bersama dengan para rahib pendukungnya telah menyusun serangkaian rencana jahat untuk menghalang-halangi Maryam menetap di Baitul Maqdis. 142Sementara itu, kedua singa dan ketiga ular milik pawang dari Magribi yang bernama Muhsin Ibni Siraj telah disita. Alasannya, pertunjukan itu tanpa izin. Dengan perintah Mosye, singa dan ular itu dimasukkan ke dalam gudang kosong di dalam Baitul Maqdis bersama gerobak dan kerangkengnya. Pada malam itu, tiga orang tak dikenal masuk ke dalam gudang tempat singa dan ular-ular itu disimpan. Mereka akan menjalankan rencana jahat kepada Maryam dengan melepaskan singa dan ular itu ke dalam kamarnya. Sebuah rencana pembunuhan yang begitu keji di hari pertama kedatangan Maryam di Baitul Maqdis. Setelah menyusupkan singa dan ular lewat pintu rahasia yang sedikit terbuka, ketiga pelaku kejahatan itu dengan cepat meninggalkan tempat. Padahal, malam itu Maryam tidak sendirian. Ia bersama dengan Zat yang mencipta dan senantiasa melindunginya. Dia tidak lain adalah Allah  yang selalu menyertainya. Allah pula yang telah membuat Maryam diterima dengan baik oleh semua orang. Atas perlindungan-Nya, singa dan ular itu bukan ancaman bagi Maryam. Mereka justru sebuah hadiah yang akan menjadi teman dekat bagi putri Imran itu. Benarlah, begitu melihat keberadaan hewan-hewan itu, Maryam langsung mendekati dan berbicara dengan mereka. “Apa kabar wahai singa! Selamat datang wahai ular sahabatku!” demikian sambut Maryam kepada mereka. 143Mendapati sambutan yang begitu hangat, kedua singa itu langsung berjalan mendekati Maryam. Singa-singa itu pun langsung bersimpuh di depan Maryam. Dengan izin Allah, keduanya mulai bercerita kepada Maryam tentang apa yang selama ini mereka rasakan. Mereka mencintai Ibni Siraj, namun sangat pedih dengan perintah melakukan berbagai adegan untuk dipertontonkan di depan orang. Keduanya selalu menanti-nantikan hari saat diberikan waktu untuk membalas perlakuan orang-orang yang mengejeknya saat rantai dilepas dari lehernya. Saat mendengarkan cerita ini, Maryam membelai kedua punggung mereka dengan tangannya yang begitu lembut penuh perhatian. Sementara itu, ketiga ular juga mendapat giliran untuk bercerita. Mereka rupanya sangat rindu dengan induknya. Mereka juga merasakan betapa sulit hidup dalam habitat dan iklim yang sangat berbeda. Belum lagi rasa bosan dan jenuh dengan keramaian manusia. Para ular itu juga bercerita tentang kisah pedih saat mereka masih kecil. Gigi taring mereka dicabut guru Ibni Siraj yang bernama Mahrengiz. Sebenarnya, ketiga ular itu bukan seperti yang disangka atau sudah tidak lagi berbisa. Jika mau, ketiga ular itu masih memiliki rahasia yang lebih berbahaya daripada bisa. Sekali cambuk dengan ujung ekornya, seseorang bisa langsung tewas. Ketiga ular itu menuturkan hal ini kepada Maryam dengan penuh kebanggaan dan rasa hormat. Maryam pun tersenyum manis dan menutup bibirnya dengan jari telunjuk. “Janganlah bersedih, wahai sahabatku! Sungguh, Allah adalah Pelindung bagi kita semua,” kata Maryam “Engkau juga jangan pernah khawatir. Kami tidak akan pernah melukaimu, wahai wanita kecil yang mulia!” kata mereka. 144“Meski kami dimasukkan ke dalam ruangan ini untuk menjebakmu, ketahuilah bahwa kami adalah makhluk yang taat kepada perintah Allah.” Mereka semua akhirnya tertidur.... Saat waktu subuh hampir tiba, Nabi Zakaria yang pertama kali membuka pintu Batul Maqdis tentu saja kaget. Maryam tampak sedang tidur lelap di antara singa dan ular. Bahkan, mereka sama sekali tidak mendengar suara keterkejutan Nabi Zakaria. Seolah-olah Allah menginginkan orang-orang menyaksikannya. Nabi Zakaria pun mengumpulkan semua petugas dan orang-orang yang menentangnya untuk mencari tahu apa yang sebenarnya terjadi. Sambil mengangkat tongkat kayunya, Zakaria  berteriak keras meminta pertanggungjawaban dari mereka. “Perbuatan macam apa ini wahai para rahib Masjid al- Aqsa yang suci? Bagaimana mungkin Anda sekalian tega melepaskan singa dan ular-ular berbisa kepada seorang anak yang telah diamanahkan kepada masjid suci ini di malam pertamanya!? Perbuatan macam apa ini, wahai para saudaraku? Maryam adalah anak yang lahir dari garis keturunan kalian juga. Ia adalah kerabat kalian sendiri. Apalagi, dia yatim piatu. Seperti inikah kalian memperlakukan seorang yang telah diamanahkan? Untuk itu, sebagai walinya, aku menginginkan segera digelar penyelidikan dan persidangan! Sejak kapan Masjid al-Aqsa telah menjadi tempat pertumpahan darah? Kalau tidak, aku akan mengambil kembali anak ini sehingga kalian tidak akan bisa menjelaskan tindak kriminal ini kepada siapa pun. Kalian pun tidak akan keluar menemui warga. Aku peringatkan kalian semua!” 145Lidah para petugas seolah-olah terkunci. Mereka hanya mampu mengatakan, “Hewan-hewan ini.... Hewan-hewan ini milik seorang pawang dari Magribi yang kami tahan kemarin siang.” Mereka pun segera menjemput Ibni Siraj untuk dibawa ke samping hewan peliharaannya. Setelah susah payah menaikkan kedua singanya yang masih tidur lelap ke atas kereta, Ibni Siraj merangkak memohon ampun dari para rahib. Ia juga bersumpah bahwa kejadian ini di luar tanggung jawabnya. Nabi Zakaria lalu menyela pembicaraan mereka. “Bukankah kedua tangan orang ini dirantai saat datang? Dikunci? Baru saja kalian yang membuka kuncinya. Sekarang, kalian menyalahkannya. Yang sebenarnya terjadi adalah kalian telah memitnah orang yang tidak bersalah!” Setelah diseret dengan paksa keluar masjid, Ibni Siraj diperingatkan untuk segera meninggalkan kota pada pagi hari itu juga. Setelah kejadian itu, Nabi Zakaria segera mengambil langkah mengamankan Maryam dengan lebih ketat. Tentu saja Maryam tidak mungkin kembali ke rumahnya. Zakaria  tidak mungkin bisa melakukannya. Maryam adalah seorang yang telah dikurbankan. Demi menunaikan janji yang telah diucapkan orangtuanya, satu-satunya cara yang dapat dilakukan Nabi Zakaria adalah melakukan langkah pengamanan dengan lebih serius. Nabi Zakaria kemudian membangun mihrab setinggi tujuh tingkat tataran tangga dengan tujuh lapis pintu di sebelah timur Baitul Maqdis. Ia dibantu keponakannya yang bernama Yusuf. Zakaria  bahkan ikut membantu mengangkat batu 146untuk fondasi. Selain Yusuf, semua orang yang mencintai Nabi Zakaria juga ikut membantu. Bahkan, di antara para rahib ada yang menghampirinya untuk membersihkan perasaan bersalah terhadap Maryam. Ketika kejadian ini sampai ke telinga al-Isya dan Merzangus, keduanya marah, meradang sejadi-jadinya. Bahkan, Nabi Zakaria harus susah-payah menenangkan keduanya. Al- Isya menangis tanpa bisa berhenti, sementara Merzangus segera mengasah pedang Zahter. Tak sabar Merzangus ingin segera memberi pelajaran kepada orang-orang yang telah berbuat jahat kepada Maryam. Lebih-lebih, saat waktu sudah menjelang tengah malam, tiba-tiba seseorang datang mengetuk pintu. Merzangus dan al-Isya pun semakin tidak bisa menenangkan diri. Dengan membawa lentera yang menyala remang-remang, Nabi Zakaria mendekat ke arah pintu seraya berseru, “ Siapa itu?” Saat itulah terdengar suara lirih dari balik pintu. “Saya, Muhsin Ibni Siraj... Muhsin Trablusi.” Nabi Zakaria belum sempat menjawab apa-apa ketika Merzangus langsung membuka pintu dengan keras sambil mengacungkan kepalan tangan ke arah wajah Ibni Siraj. “Semoga salam dan keselamatan dari Allah tercurah untuk Anda! Mohon perkenankan saya dapat menyampaikan beberapa patah kata?” kata Ibni Siraj sembari menganggukkan kepala untuk memberi salam kepada orang yang ada di dalam rumah. Udara sedingin salju. Bukankah orang ini yang baru saja telah menyebabkan Maryam dalam bahaya pembunuhan? Anehnya, dia bisa berucap salam dengan nama Allah? 147“Orang asing!” kata Nabi Zakaria. “Bukankah pagi tadi singa dan ularmu sudah hampir saja membahayakan putri kami, Maryam?” “Tuan, mohon beri saya sedikit waktu untuk menerangkan yang sebenarnya.” Al-Isya dan Merzangus tidak mengizinkan Ibni Siraj masuk ke dalam rumah. Mereka hanya mengizinkannya duduk di atas matras di pekarangan depan rumah. Setelah duduk berdua dengan Nabi Zakaria, Ibni Siraj pun merendahkan bicaranya Ia bercerita bahwa dirinya adalah putra mahkota Kerajaan Siraj yang telah diluluhlantakkan Romawi. Dia adalah pemeluk agama Hanif yang tidak menyekutukan Allah. Seorang yang tahu dan beriman pada kekuatan dan perintah Sang Pencipta. Beberapa waktu sebelum tanah kelahirannya dihancurkan Romawi, ayahnya yang saat itu menjadi raja telah mengirimkan Ibni Siraj kepada seorang guru bernama Abu Mehrengiz yang hidup di tengah-tengah hutan. Dengan cara seperti itulah ia dapat selamat dari pembantaian. Saat hidup di hutan, sang guru telah berpesan tentang kedatangan seorang nabi dan rasul di dataran al-Quds. Ketika kembali ke kampung halaman, Ibni Siraj menyaksikan semua keluarga dan penduduk kerajaan sudah tidak ada. Mereka dibantai secara massal. Itulah yang membuatnya mengembara ke penjuru dunia bersama dengan hewan-hewan yang telah didik sang guru sebagai warisan untuknya. Abu Mahrengiz memiliki garis keturunan dari ayahnya yang sampai kepada Nabi Sulaiman. Dia juga seorang ahli ilmu dan sangat luas pengalamannya. 148“Hewan-hewan ini telah dididik dengan baik,” kata Ibni Siraj. “Guruku berkata untuk memerhatikan singa dan ular-ular ini. Hewan-hewan ini akan membantuku menemukan cahaya dari Allah. Jika hewan-hewan itu menurut dan mau minum dari tangan seseorang, ketahuilah bahwa nur dari sisi Allah telah ada pada dirinya. Ketika menyaksikan mereka tidur berdampingan dengan wanita kecil itu dengan begitu tenang, saya langsung memahami yang dikatakan guru saya. Seseorang itu adalah putri kecil Anda. Tuan, mohon maafkan diri saya ini. Saya baru saja masuk al-Quds kemarin siang dan mereka langsung menangkap diri ini. Semua hewan piaraan saya juga disita. Setelah itu, saya sama sekali tidak tahu. Saya juga sama sekali tidak tahu siapa yang telah menaruhnya di sana. Namun, bagaimana mungkin hewan-hewan yang semestinya buas itu bisa berdampingan dengan putri Anda dengan begitu jinak. Sepertinya, keadaan ini membenarkan apa yang dikatakan guru saya. Seorang nabi yang akan datang ada pada Maryam putri Anda. Harap Anda mengetahui hal ini. Izinkan diri saya untuk tinggal di kota ini hanya sampai besok pagi. Saya tidak ingin pergi jauh dari tanda yang telah diturunkan ini. Saya akan pergi menuju kota Jalilah. Dari sana, saya akan melanjutkan perjalanan ke Mesir. Saya datang ke sini untuk memohon maaf kepada Anda sekeluarga. Saya pun 149ingin meninggalkan kudaku, Suwat. Kuda ini sangat terlatih. Jika suatu hari Anda sekalian harus meninggalkan kota al- Quds, semoga Suwat dapat mengantar Anda ke tempat saya berada. Tuan, semoga salam dan keselamatan dari Allah senantiasa tercurah untuk Anda!” Pembicaraan yang terjadi dengan suara lirih itu tidak dapat didengar Merzangus dan al-Isya dari dalam. Namun, Nabi Zakaria memberi isyarat untuk menyuguhkan segelas susu. Dengan berat hati, mereka pun menyiapkannya. Setelah meminum air susu yang dihidangkan, Ibni Siraj beranjak meninggalkan rumah. Sesaat sebelumnya, ia mengeluarkan sebuah kipas bulu burung merak dari dalam bajunya. Dengan suara tenang, ia menoleh ke arah Merzangus dan berkata kepadanya dalam bahasa Arab. “Aku tidak akan pernah melupakan Anda, wahai Tuan Putri,” katanya kemudian pergi. Mendengar perkataan itu, Merzangus hanya dapat berkata, “Dasar orang tidak tahu diri!” -o0o- 15017. Penerman yng Bak Maryam kini tinggal di mihrab yang dibuatkan Nabi Zakaria untuknya. Setiap membuka Baitul Maqdis pada waktu pagi dan menutupnya di waktu malam, ia mendapati Maryam sudah selesai menghafalkan semua pelajaran yang diajarkan kepadanya. Bahkan, Maryam juga telah hafal beberapa doa yang belum pernah diajarkannya sekali pun. Pada hal seperti ini, Nabi Zakaria mendapati Maryam selalu berteman dengan para malaikat. Tuhan telah menjadikan Maryam diterima. Ia telah mendidiknya layaknya sebulir biji yang baik. Dan ia juga telah menugaskan Zakaria untuk mendidiknya… Seakan menjawab kekhawatiran Hanna, Allah berirman “Aku telah menciptakannya sebagai seorang perempuan” untuk menguatkan pendiriannya, membuka jalan kepadanya. Dia pula yang telah menjaga dan menghindarkannya dari segala bahaya. Dengan kelahirannya, hati manusia menjadi lembut. Bahkan, orang-orang yang memusuhi orangtuanya pun berlomba untuk mengabdi kepadanya. 151Dialah anak yatim sekaligus piatu. Hanya bibinya yang mengulurkan tangan bantuan untuk mengasuhnya. Memang demikianlah seyogianya, hal yang dititahkan untuk kemuliannya. Orang-orang yang dahulunya memusuhi keluarganya, bahkan sampai tingkat merencanakan pembunuhan, telah berbalik begitu simpati kepadanya. Mereka ingin mengasihi, ingin menjadi orangtua asuhnya. Allah telah menitahkannya sebagai bayi yang diterima semua orang karena memang dia adalah seorang yang dipilih Allah, sosok yang diterima. Meski setiap orang berlomba-lomba untuk mengasuh dan membantunya, sejatinya Maryam tetap seorang yatim piatu. Allah adalah pelindung setiap yatim dan piatu sehingga Allah pula yang menjadi pelindung Maryam. Tidak dimungkiri bahwa Dialah Zat yang Maha Memiliki, Maha Melindungi. Zat yang paling kuat dan paling baik dalam memberi perlindungan. Demikianlah, Maryam telah bersimpuh di haribaan Allah. Demikianlah, Allah telah menjadi Zat Tunggal yang menjadi pelipur laranya. Zat yang melindungi, membimbing, membesarkan, dengan menyematkan keteguhan untuk menyongsong hari depan. Secara hakikat, Maryam bukan dalam perlindungan siapa-siapa. Allah sendiri yang mendidik dan merawat seperti sepucuk tunas saat kedua orangtuanya telah tiada. Sebagaimana tumbuhan yang akan kuat menancap ke dalam tanah, Maryam juga kuat menancap kepada Tuhannya dalam tauhid. 152Maryam pun tumbuh dalam pilihan Tuhannya, bangkit dalam pendidikan hidayah dari-Nya. Dialah tunas yang begitu mulia, bunga yang tiada duanya; yang butuh perawatan dan pemeliharaan yang hanya bisa dilakukan dengan Tangan-Nya. Sebagaimana tumbuh-tumbuhan menduduki rantai pertama dalam penciptaan, awal dalam menjadi dasar bagi beraneka ragam penciptaan, Maryam juga menjadi “landasan” pertama yang akan menjadi pijakan bagi “Firman Allah”. Saat telah tiba waktunya, ia akan memekar menjadi bunga, kemudian berbuah, seraya teguh menjadi sebatang pohon yang setia memikul buahnya. Sementara itu, Merzangus selalu berkata demikian untuk Maryam. “Dia begitu penyabar, teguh. Seorang yang lahir sebatang kara, demikian pula saat tumbuh dewasa.” Karena itulah para malaikat menjadi teman setianya. Dan hanya Allah semata tempat mencurahkan kesendirian dan kepedihan hati yang melukainya. Ia adalah pohon yang kokoh tinggi menjulang lagi banyak buahnya. Seorang nabi Allah, Zakaria, yang menjadi perawat kebunnya. Tukang kebun yang membimbing, merawat, dan juga menopangnya. -o0o- 15318. Ksah irab Mihrab yang dibangun Nabi Zakaria bersama dengan kemenakannya, Yusuf sang tukang kayu, memiliki tujuh pintu dan tujuh kunci. Di dalam mihrab berlapis tujuh pintu tujuh kunci inilah Maryam menghadap Allah seorang diri. Ada tujuh nama pintu. Pintu pertama al-Aman Dia adalah pintu awal, waktu subuh... Waktu fajar belum terbit... Saat bintang Venus belum tenggelam... Ketika burung-burung sebentar lagi akan bangun... Masa ketika semua orang lelap dalam tidur dan lekat dengan tempat tidurnya... Nabi Zakaria pun membuka ketujuh pintu dengan khusyuk berdoa. Pintu-pintu inilah gerbang utama Baitul Maqdis... Segepok kunci di tangannya. Lafaz basmalah pada lidahnya. Dengan asma Allah Yang Maha Pengasih dan Penyayang, Nabi Zakaria membuka semua pintu satu demi 154satu. Inilah bukti kehati-hatiannya. Ia laksana tukang kebun yang sedang merawat tanaman bunga-bunganya. Setelah membuka pintu dengan bacaan basmalah, Zakaria  tertegun memandangi arah asrama yang terletak di sebelah timur mihrab, tempat para santri bertempat tinggal. Suara para santri pun terdengar. Sebelum terbit fajar, sebagian santri telah mulai kembali ke asrama. Mereka adalah santri juru tulis dari segala usia. Sebagian mereka telah lelap dalam tidur. Namun, bagaimana halnya dengan Nabi Zakaria? Ia tak pernah tidur. Malam-malamnya lebih terang daripada siang hari. Nabi Zakaria sendiri dalam keheningan malam. Saat orang-orang yang berhati jahat sudah lelap, Nabi Zakaria melewatkan waktu seorang diri. Meskipun ada juga beberapa orang yang benar-benar telah ditempa jiwanya, yaitu yang setia pada ajaran tauhid, jumlah mereka sangat sedikit dibanding jumlah orang-orang jahat. Suara mereka yang baik ini pun terdengar begitu lemah dalam hiruk-pikuk kerusuhan dunia yang sedang melanda. Di luar semua orang ini, ada lebih dari empat ribu santri Nabi Zakaria. Dan di antara mereka ada seorang Maryam. Seorang yang tidak mungkin dibandingkan dengan keempat ribu santri yang telah dikurbankan di jalan Allah, baik dalam ilmu, akhlak, maupun ketakwaan, meskipun mereka semua juga berjuang dengan sekuat tenaga dan pikiran untuk menjadi yang terbaik dalam mengabdi di jalan Allah. Pada pagi menjelang fajar ini kebanyakan dari mereka sedang tidur. Nabi Zakaria, dengan jiwa seorang ayah, berjalan dengan penuh hati-hati. Ia melepaskan terompah kayunya agar tidak menimbulkan suara yang dapat mengganggu para santri itu. Ia akan berjalan pelan sampai tiba di pelataran masjid bagian dalam. Begitulah seorang Zakaria. Ia adalah 155ayah bagi semua orang. Sosok yang dengan lembut hati tidak ingin mengganggu tidur para santrinya karena waktu subuh masih beberapa saat. Apalagi, mereka baru saja menyelesaikan pelajaran yang sangat berat. Di pelataran bagian dalam masjid yang berbentuk segi empat itu ada sembilan puluh sembilan kamar kecil yang melingkari masjid di sebelah barat dan selatan. Di sinilah tempat para santri bertempat tinggal dan menimba ilmu. Sementera itu, di sebelah utara masjid terdapat ruang khusus tempat para guru agung memberikan pelajaran. Sementara itu, aula berkubah suci tempat menyimpan benda-benda peninggalan suci berada di sebelah timur. Wanita sama sekali dilarang memasukinya. Di tempat inilah benda-benda suci, seperti tempat pena, tempat tinta, kaligrai, pena yang terbuat dari berbagai jenis kayu peninggalan Nabi Sulaiman, Daud, Uzair, dan Danial, disimpan. Di sebelah timur laut terdapat perpustakaan besar yang diberi nama “Mutiara dan Marjan”. Masih terdapat ruangan-ruangan kecil di sebelah timur yang bergandengan dengan Kubah Suci, yaitu tempat ujian para haiz yang dibuka saat ujian berlangsung. Ruang ini sangat kecil dan hanya muat satu orang. Tanpa penerangan tanpa jendela. Jumlahnya mencapai empat puluh. Para santri ditempa dalam keadaan gelap dan dilarang menyalakan lentera. Siang hari hanya ditemani cahaya yang remang-remang, sementara di malam hari gelap gulita. Di atas ruang ujian yang mirip dengan bungker inilah seorang santri terpilih, seperti Maryam, tinggal selama empat puluh hari dalam satu tahun untuk menjalani ujian. 156Terdapat pula sebuah mihrab dengan ketinggian tujuh tataran tangga batu marmer. Di situlah Maryam tinggal. Selain Nabi Zakaria, tidak ada orang pun yang boleh membuka pintu mihrab. Namun, ketika Nabi Zakaria sudah begitu lemah karena usia, Yusuf sang tukang kayu sering menyertainya untuk membawa keranjang tempat makanan, pakaian, dan perlengkapan lain. Setiap masuk subuh, Nabi Zakaria selalu membuka pintu berlapis tujuh itu. Saat sore sebelum matahari tenggelam, ia kembali menguncinya dengan tujuh lapis pintu tujuh macam kunci. Dengan membaca basmalah, Nabi Zakaria membuka kunci yang pertama. “Tuhanku, semoga Engkau berkenan melimpahkan keamanan kepada kami. Lapangkanlah hati kami. Tanamkanlah rasa aman di dalam hati kami. Limpahkanlah kepadaku kemampuan dengan jerih payahku untuk melindungi anak yatim yang telah diamanahkan ini. Sungguh, ia adalah mutiara yang selalu memanjatkan zikir dalam rumah cangkangnya. Tuhanku! Engkau adalah Zat Yang Maha Mendengar lagi Mengetahui. Limpahkanlah keamanan kepada kami!” Hati Nabi Zakaria terasa pedih saat berada di depan pintu pertama ini. Ia mengingat dua sahabatnya yang telah pergi ke alam baka dengan hanya selang beberapa hari Hanna dan Imran. Kedua orangtua Maryam yang selama hidup telah menunjukkan kesetiaan yang begitu besar dalam memperjuangkan kebaikan. Dan Maryam adalah berita baik dari langit yang selalu mereka perjuangkan sampai akhir hayatnya. Maryam adalah kenangan, tanda bagi kedua 157orangtuanya, serta cahaya dan nur yang membelah kegelapan malam. Ia juga tanda bahwa kelak akan turun seorang nabi bernama Isa sang Kalamullah. Laksana sungai yang menjadi tanda bahwa lautan ada. Ya, Maryam adalah penantian harapan yang menegangkan. Penantian kebaikan yang senantiasa harus dijaga sedemikian rupa. Harus dilindungi. Lebih-lebih, ia adalah yatim. Seorang yang telah diamanahkan. Begitu terlintas soal amanah, saat itulah tubuh Zakaria yang semakin ringkih karena lanjut usia seolah-olah kian membungkuk karena berat beban amanah yang menindihnya. “Ya Tuhanku!” seru Nabi Zakaria. “Limpahkanlah rasa aman kepada kami sehingga diri ini bisa membesarkannya. Hindarkanlah diriku dari perbuatan mengkhianati, menerjang amanah ini. Berikan kekuatan pada tubuhku yang semakin ringkih. Anugerahkanlah penglihatan kepada kedua mataku yang sudah tidak mampu melihat lagi. Berilah pendengaran pada telingaku yang sudah mulai tuli ini. Curahkanlah kekuatan dan ketangkasan pada kedua tangan ini sehingga mampu bergerak cepat demi keamanan Maryam. Beri aku kesempatan untuk dapat membesarkannya di tempat yang paling aman di Rumah Suci ini sebagai tempat yang paling aman di dunia!” Pintu pertama dibuka Nabi Zakaria dengan doa keamanan. Hal ini menunjukkan bahwa Maryam adalah seorang safiyyah. Orang suci. Inilah nama Maryam pada pintu yang pertama, safiyyah... Dengan benteng pintu pertama, kehidupan Maryam terjaga dalam kesucian. Ia adalah lambang kesucian itu di balik pintu pertama ini. Sosok paling suci di antara semua kaum wanita. 158Seseorang yang telah dikurbankan. Sebagaimana semua kurban, Maryam juga merupakan media untuk mendekatkan diri kepada Allah. Dengan kesucian, kebersihan, serta perjuangan segenap jiwa dan raganya, Maryam merupakan penunjuk jalan dalam menggapai kasih sayang Allah. Maryam adalah murni dan suci. Semurni tetesan hujan, jernih tanpa imbuhan apa-apa... Yang hanya berlindung kepada Allah dari kejahatan setan yang telah diusir. Yang telah tumbuh dewasa di balik pintu pertama sebagai lambang seorang suci laksana sekuntum bunga yang penuh berkah. Yang terjaga dari segala ancaman yang bisa merusak kesucian dan kemurniannya. Seperti perhiasan mulia yang mengharuskan dijaga dan dilindungi. Perhiasan murni, sebagai karunia dari Allah... Maryam memang telah dipersiapkan. Bunda suci dan mulia yang kelak akan mengandung bayi seorang Isa. Bagaikan tempat penyimpanan yang bersih dan suci. Amanah ini tidak akan diberikan kepada jiwa yang dihinggapi rasa waswas, apalagi pengkhianatan. Begitulah, Maryam adalah yang terpelihara. Yang terjaga. Yang terlindungi... Di balik pintu pertama yang membentengi keamanannya, ia adalah yang terjaga kesuciannya... Pintu pertama menggambarkan bahwa Maryam adalah seorang manusia dari bumi yang mencapai alam malaikat di dalam mihrab. Sifat tanah yang ada pada Nabi Isa, genetik sebagai “putra dari bumi”, adalah warisan Maryam pada dimensi ini. Seandainya tidak ada dimensi tanah yang datang dari Maryam, kelahirannya yang sedemikian luar biasa tanpa 159seorang ayah akan menjadikan Isa sebagai seseorang di alam malakut. Hal itu mungkin akan mengaburkan misi dan dimensinya sebagai utusan bagi umat manusia. Padahal, Nabi Isa bukan seorang malaikat, melainkan manusia yang diutus bagi umatnya. Dalam hal ini, Maryamlah yang mengaitkannya dengan dimensi manusia. Demikianlah pintu pertama. Di depannya telah bertemu unsur-unsur keamanan, kesucian, dan tanah... Pintu kedua Keteguhan Nabi Zakaria kemudian membuka kembali pintu kedua dengan membaca basmalah. Saat itulah ia kembali teringat usianya. “Terlebih untuk mengasuh seorang anak perempuan,” katanya pada diri sendiri. Anak perempuan yang begitu lembut, yatim lagi piatu.... “Tuhanku! Berilah kepadaku usia yang panjang dan kekuatan yang cukup untuk merawat Maryam yang telah dikurbankan di jalan-Mu.” Setelah berdoa yang begitu memelas, terlintas akan hakikat air sebagai makhluk yang paling lembut dan lemah. “Tuhanku! Engkaulah yang telah memberi kekuatan pada air yang begitu lembut dan lemah untuk dapat membentuk sebuah batu. Berikanlah kepada Maryam kekuatan kesabaran dalam menyeru ke jalan-Mu, kekuatan dalam menghadapi kekerasan orang-orang yang hatinya telah membatu,” demikian doa Nabi Zakaria dalam suara lembut. “Berilah kepadanya kekuatan untuk tetap bertahan atas segala kesulitan yang akan menimpanya.” 160Menjadi orang yang dikurbankan berarti menjadi orang terpilih. Terpilih untuk melewati ujian. Ia rela dari awal untuk menghadapi segala bentuk ujian, bahkan yang paling susah sekali pun “Oleh karena itu, berikanlah perisai ketahanan kepada Maryam. Sungguh, Engkau adalah Zat yang memiliki diri kami!” Nabi Zakaria adalah seorang ahli zikir. Seorang zakir. Ahli mengingat dan mengingatkan. Nabi yang selalu berkorban, yang setiap waktunya berlalu penuh dengan panjatan doa. Siang dan malam, ia berbicara dengan Tuhannya dalam tangisan. Kembali nabi Zakaria memandangi alat pemintal bulu domba yang ada di dalam keranjang. Saat itu musim memotong bulu-bulu domba di Palestina. Dan Maryam sangat suka bermain dengan domba. Bahkan, saat kunjungannya yang terakhir, ia bertanya kepada Nabi Zakaria, “Apakah domba- dombanya masih suka lari-larian? Apakah mereka masih suka malas-malasan kalau dimasukkan ke kandang? Sungguh, aku sangat rindu bermain dengan mereka.” Saat itulah Nabi Zakaria tidak kuasa menahan tangis sehingga pada kunjungannya ke mihrab kali ini ia membawakan alat pemintal bulu domba. Bagi penduduk Palestina, seni memintal bulu domba adalah keahlian yang telah mereka dapatkan sejak lahir. Memintal benang dan membuat rajutan adalah pekerjaan yang telah diwariskan turun-temurun dari masa ke masa. Karena itu, setiap kali datang musim memotong bulu domba, seluruh wilayah Palestina akan dipenuhi suasana hari raya. Mencuci 161bulu-bulu domba di sungai Jordan serta mengurai dan menghaluskannya sebelum dipintal menjadi benang adalah aktivitas yang akan selalu diikuti semua wanita Palestina. Suatu waktu, ketika semua orang mendapat jatah mengerjakan bulu-bulu domba berwarna putih bersih, Maryam justru mendapatkan bulu-bulu domba dengan warna berbeda, abu-abu... Nabi Zakaria membawakan bulu-bulu domba berwarna abu-abu kehitaman yang sudah dibersihkan al-Isya kepada Maryam. Pada masa itu, seorang wanita mendapatkan jatah mengurai bulu-bulu domba berwarna keabu-abuan dipercaya akan melajang hingga akhir hayat. Tak heran semua wanita, baik yang sudah mencapai usia menikah maupun belum, beramai-ramai menunggu hasil undian pengerjaan jatah bulu-bulu domba. Mereka penasaran dengan warna yang akan didapatkan. Ada di antara mereka yang mendapati bulu- bulu domba berwarna putih bersih, ada juga yang mendapati berwarna abu-abu, dan bahkan merah api. Dengan perasaan gembira tanpa sedikit pun bersedih, Maryam mulai memintal bulu-bulu domba yang berwarna abu-abu. Ia mengurai bulu-bulu domba itu dengan sabar hingga menjadi benang. Begitu sabar Maryam mengurai benang- benang itu hingga menjadi sedemikian lembut. Semua orang pun heran dengan hasil benang pintalan Maryam. Mereka menyebutnya dengan “Riste-i Maryam”. Karena kelembutan dan kekuatannya, Maryam membuatnya untuk para darwis. Begitulah, Riste-i Maryam adalah kain paling lembut dan sederhana di dunia... 162Pintu kedua yang tidak lain adalah pintu keteguhan ini telah menunjukkan makna bulu-bulu domba yang telah menjadi jatah Maryam. Bulu-bulu domba berwarna abu-abu yang tidak lain adalah isyarat keperawanannya. Nama Maryam di balik pintu ini adalah “bakire”, yang berarti perawan. Di balik pintu ini Maryam adalah seorang yang tidak pernah tersentuh, tidak pernah pula terlukai. Ibarat pohon berbunga yang tumbuh berkembang di dalam mihrab, Maryam bukan seseorang yang baru mencoba belajar menapaki kehidupan. Ya, ia tidak pernah dalam tahapan mencoba atau diarahkan untuk mencoba... Sebab, ia bukan sebagaimana layaknya manusia yang menapaki kehidupan dengan proses mencoba, salah, dan baru mendapati kebenaran. Kata orang atau kata riwayat’ bukanlah kata-kata Maryam. Tidak satu pun desas-desus atau berita burung pernah meninggalkan bekas dalam pendengarannya. Dengan perisai maksum, Maryam telah dilindungi dari segala perbuatan nafsu dan dorongan batinnya sendiri. Sebagai seorang putri terpilih dari keluarganya, Maryam juga terpilih untuk kelak melahirkan seorang nabi pilihan. Karena itulah ia telah disaring dari saringan Rabbani, yang menjadikannya sebagai seorang yang tiada duanya, tiada padanannya... Dalam hal ini, pintu yang kedua tentu saja bernama “keteguhan”. Pintu yang tangguh, teguh, dan kuat melindungi serta menjaga Maryam dengan penuh kekuatan agar tetap perawan dari segala getaran dunia... 163Sementara itu, air dari dunia keemasan akan menjadikan pintu kedua semakin kokoh. Saat keteguhan dan keperawanan berjumpa dengan air di balik kokoh pintu kedua ini. Bukan tanpa makna pengaitan Nabi Zakaria dalam doanya dengan mengambil permisalan dari air. Air adalah awal kehidupan. Saat Maryam mengandung dengan tiupan ruh oleh malaikat, permisalan air pula yang digambarkan oleh Maryam pada kisah kehidupan setelahnya. Maryam ibarat khayalan yang tampak dalam permukaan air... Begitu pula dengan putranya. Ia tak lain adalah air khayalan yang Maryam lihat dalam mimpinya. Maryam ibarat bayangan di atas permukaan air sungai. Bayangan yang rela menetap di dalam air. Bayangan yang mengambang bagaikan kapal yang ikhlas mengangkut Isa. Dan memang, tetesan air mata berupa air pula. Dan ia adalah sahabat paling dekat Maryam. Bukankah air mata adalah sahabat berbagi rahasia Maryam? Siapa lagi selain air mata yang akan setia menyimpan rahasia mengenai beban yang dipikulnya, berita ditiupkan ruh kepadanya, amanah yang dikandungnya? Dia adalah pintu kokoh yang memikul beban sebagaimana kekuatannya air yang akan memikul Nabi Isa. Pintu kedua ini adalah tempat bertemu keteguhan, keperawanan, dan air.... Pintu ketiga Tempat Berlindung Diri Sejenak Nabi Zakaria menarik napas lega setelah membuka kedua pintu yang pertama dalam hati yang begitu sesak. Kembali ia akan membuka pintu ketiga dengan mengucap 164basmalah. Saat itulah, dengan anugerah Ilahi, dalam seketika hilang segala kekhawatiran yang sebelumnya menyelimuti perasaannya. Lenyap sudah semuanya dalam keluasan hati, dalam kedalaman pemahaman dan ketenangan, sehingga pintu ketiga ini sebagai kedudukan imkan dan mumkin, peluang dan kemungkinan. Bukankah penciptaan tidak lain adalah sebuah peluang dan kemungkinan? Imkan, selain merupakan peluang bagi perkembangbiakan, mengandung syarat bagi keberdetakan jantung kehidupan. Saat imkan memungkinkan sebuah kehidupan, dengan sendirinya makan tempat akan menyertainya. Demikianlah, kematian maupun kehidupan akan selalu terkait dengan tempat. Bahkan, meski ruh yang dipahami tidak mengenal “tempat”, saat diterangkan ia akan selalu dikaitkan dengan sebuah tempat. Ia dijelaskan dengan keterkaitannya pada badan, mimpi, khayalan, kubur, dan akhirat. Tempat adalah penghubung antara langit dan bumi. Dengan kata lain, ia adalah jembatan sejati, yang menuntun kita berdiri kokoh di atas air, batu, dan api. Dalam makna khusus, ia adalah badan. Saat manusia pertama diturunkan ke bumi, untuk sedikit menenangkan keterkejutan dan ketakutan, manusia menjadikanmakansebagai yang merasakan masa lalu dan masa yang akan datang berada dalam kegelapan yang begitu kelam itu telah diarahkan dalam sebuah garis koordinat tempat diturunkannya ke bumi untuk pertama kali. Makan adalah sosok yang sudah kita kenal, yang sudah kita ketahui. Yang sudah dekat dan selalu menjadi tempat bagi kita 165untuk berbagi. Tempat berteduh yang dapat dijadikan pelipur hati saat kesatuan berpecah, berpencar dalam serpihan- serpihan... Makan adalah seorang yang menyertai, yang menjadi sahabat, yang menjadi teman perjalanan. Makanat adalah jalinan lingkaran. Ia adalah mihrab yang merupakan jalinan lingkaran nisbi yang menjadi pegangan Maryam dalam kehidupannya sebagai seorang yatim lagi piatu. Tidak ada lagi tempat di dunia ini yang dapat menjadi pegangan bagi Maryam. Ia pun tidak ingin berpegangan pada dunia, yang tidak ingin menapaki dunia, yang berlari darinya untuk menyendiri. Di balik pintu ini, Maryam kasat mata. Ibarat udara, ia mudah terbang, mudah berlepas diri... Dalam pintu makanat ini, nama Maryam adalah seorang masumiyah; Dan nama dirinya adalah masumah. Agar angan dapat menerawang dan menangkap pemahaman dua dimensi paradoks antara makanat dan masumiyah dalam satu rangkaian, dalam pintu yang ketiga ini dimensi dunia yang mewakilinya adalah hawa, udara... Masumiyah yang tidak terikat dengan tempat hanya mungkin menempati media udara. Udara adalah materi paling mencakup tempat seluas-luasnya. Mulai dari benda padat, cair, hingga gas yang runtut semakin meluas secara bertahap mencakup makan dan imkan. Volume yang meluas akan semakin lembut, lentur. Semakin lentur, semakin mungkin mencakup seisi ruangan. Semakin mampu melingkupi, menyelimuti. Saat benda padat berubah menjadi gas, ia akan semakin meluas hingga terbang. Ia pun akan mampu merangkul dan mendekap seluruh isi ruangan. 166Maryam mampu mencakup, mendekap dirinya dan sekitarnya. Dan memang, Maryam yang berada di dalam mihrab, yang terisolasi dari kehidupan dunia, yang telah menapaki kedudukan ahli doa, seolah-olah telah menjadi ringan dan dengan mudah menyusup, menyelinap. Mihrab pun berlepas dari mengikatnya sehingga Maryam menapaki kemampuan untuk menyusup, menyelinap, terbang, dan membubung tinggi. Ia menyelinap dan berlepas diri seraya terbang dari jerat kekhawatiran, risau, dan penyangkalan. Dirinya seakan-akan telah menyublim, bahkan berubah menjadi cahaya sehingga ia menjadi sedemikian ringan, lembut, dan mampu bergerak bebas mengisi seluruh ruangan. Karena itulah pintu ketiga ini memberi isyarat Maryam sebagai seorang yang “mampu berlepas diri”. Berlepas diri dari jerat segala bentuk kejelekan dari dalam diri, nafsu yang menjadi perintang dan perangkap baginya. Maryam pun tetap terjaga dalam kemaksumannya. Bagi Maryam, udara yang dihirupnya adalah doa. Kata dan suaranya tiada lain adalah doa, taat, dan beribadah. Kedudukan yang terlepas dari titik koordinat ini, dari semua jeratan dan kebiasaan ini, telah mengantarkan Maryam mencapai kondisi baru dari yang baru. Tempat luar biasa dalam keterjagaannya ini khusus bagi Maryam. Ia bukanlah kunci atau tempat yang dibuat Nabi Zakaria maupun yang tersedia dalam Baitul Maqdis. Ia adalah mihrab yang telah dianugerahkan Allah sebagai karunia. Ia ibarat kepompong dari cahaya yang menyelimuti Maryam. Tempat untuk menempa serta mempersiapkan diri untuk kelak mengandung dan menjadi ibu sang Kalamullah. Demikian 167pintu ketiga ini yang juga bermakna tempat mengasingkan diri. Aroma titik yang mempertemukan antara makanat dan masumiyah dalam pintu yang ketiga adalah dari unsur asli. Aroma yang disukai Rasulullah , yang menjaga kemaksuman mihrab, yang meningkatkan ke posisi “heran” dan “terpesona”. Inilah udara nurani yang dihirup Maryam. Tempat Maryam menyatu dengan udara, pintu Makanat... Pintu keempat Ketabahan Saat mencapai pintu yang keempat, Nabi Zakaria merasakan dirinya semakin ringan, semakin kuat. Kedua tangan dan bahunya terasa lebih kuat. Ketika sampai ke pintu yang keempat ini, ia merasakan pedih kelemahan dan kepapaannya oleh usia yang telah lanjut, terlebih saat merenungi amanah di balik ketujuh pintunya. Kini, entah dari mana ia merasakan kebugaran kembali? Pintu keempat adalah pintu paling berat. Ia terbuat dari besi hadiah para pedagang asal Syam kepada Baitul Maqdis. Saking beratnya, empat ekor sapi yang menarik gerobak saat membawanya merasa kewalahan. Karena itulah ia diberi nama Hadid yang memiliki bentuk yang sangat kokoh... Ia tepat berada di tengah-tengah ketujuh pintu. Meski bebannya sangat berat, setiap kali Nabi Zakaria hendak membukanya, entah mengapa selalu saja terkuak keteguhan dan keringanan hati. Seolah-olah kelemahan karena usia yang telah lanjut hilang dalam seketika. Jadilah seorang Nabi Zakaria kembali muda. Dalam seketika, kekhawatiran soal usia atau siapa yang akan mendapat amanah menjaga 168Maryam sepeninggalnya—apalagi para rahib di Baitul Maqdis terus terpecah dalam kubu-kubu politik-telah menjadi begitu ringan bagaikan melepas sehelai kain yang dikenakannya... Sebuah pintu terbuat dari besi yang di dalamnya terdapat kekuatan tekad sekuat besi. Terdapat keteguhan sekukuh kekokohannya. Di depan pintu tengah ini terbesit kekuatan tekad bahwa yang terpenting adalah menapaki jalan dengan penuh perjuangan. Zat Yang Maha Memiliki Jalan, yang telah menitahkan ujian dalam perjalanan hidup yang berat, tentu telah memiliki rencana, baik di masa lalu, masa kini, maupun masa yang akan datang. Yang penting adalah menjalani dan terus menjalani dengan penuh kesabaran, keyakinan, dan harapan yang tiada pernah patah. Demikianlah pintu keempat. Ia laksana perahu keteguhan yang akan mengarungi lautan. Sementara itu, bagi Maryam, pintu ini adalah tanda akan sikap malunya. Karena itulah pintu tengah ini bernama Mahjubah’. Namun, tentu saja tidak sia-sia jika pintu ini diberi nama Hadid. Besi sebagai elemen yang paling kuat, sebagaimana telah disebutkan di dalam Alquran, tidak lain adalah senjata dan benteng yang paling kuat di masa itu. Ia kokoh, berat, dan tidak mungkin ditembus. Dari sisi yang lain, besi hanya bisa dilebur dengan panas api sehingga, dalam sisi dunia unsur, pintu keempat ini erat kaitannya dengan api. Panas api yang membakar besi bukan untuk melenyapkannya. Ia justru membentuk, menyusun kembali. 169Penempaan kembali untuk rela dengan ujian besar yang ditanggungnya demi mengasah diri dari ketumpulannya. Jadi, setelah dibakar dan ditempa, besi akan bangkit dalam bentuk sebilah pedang yang kuat lagi tajam... Bukankah keteguhan akan membuahkan kebangkitan dan kemuliaan yang demikian? Keteguhan dengan kekuatan untuk menghadang, menembus kesulitan, bahkan bencana sekalipun sama persis keadaannya dengan kepompong ulat sutra. Saat tiba ulat keluar dari kepompong dalam sikap malu, ia sudah menunjukkan bentuk baru sebagai seekor kupu-kupu yang indah lagi lembut. Demikian pula mengasingkan diri bagi seorang darwis. Sebagaimana pejalan suluk yang penuh dengan cobaan berat, ujian berat yang ditempuh Maryam juga akan menyempurnakan kekuatan keteguhannya. Begitulah Maryam. Satu demi satu ujian berat telah dilaluinya dengan sikap penuh malu, sehingga mengantarkannya ke posisi mulia. Dialah Maryam. Ahli hijab pemalu... Bagi Maryam, hijab berarti menginjak usia dewasa. Saat Maryam menapaki usia dewasa, ketika itu pula ia akan menurunkan hijabnya. Ia akan berbicara di balik tirai hijabnya. Namun, tirai bukanlah penghalang. Sebaliknya, tirai adalah pintu. 170Mungkin ia adalah alam barzakh. Tangga menuju ke pintu. Jarak. Isyarat. Bagi Maryam, hijab adalah jarak yang terpangkas antara dirinya dan Tuhan. Dan juga penunjuk jalan bagi setiap orang yang akan meniti jalan setelahnya. Demikianlah Maryam. Di depan pintu keteguhan ia tumbuh dalam akal, ruh, dan badannya menuju masa kesiapan menjadi seorang ibu... Dan... dia pula yang akan mengarungi jalan penuh ujian lautan api... Pintu kelima Selamat Ini adalah pintu paling tipis dari pintu-pintu yang lainnya. Jika dilihat dari penampakan luar, terlihat bukan sebuah pintu karena begitu transparan. Dengan sedikit dorongan dan atau sedikit empasan angin, pintu ini seolah-olah akan segera tersingkap dan terbuka. Sebenarnya, penampakan seperti ini menipu. Meski terlihat mudah dibuka dan ringkih, kuncinya telah dibuat khusus oleh seorang ahli dari Hayfa. Kunci buatannya itu seakan-akan sebuah teka-teki. Lubang kuncinya terbuat dari perak, sementara anak kuncinya dari emas. Saat kunci diputar ke arah timur dua kali, kunci itu tidak akan bisa ditarik. Baru setelah dimasukkan lagi kunci ke dua dengan mendorongnya ke arah utara kemudian ke barat, kunci yang pertama baru dapat digerakkan. Setelah didorong kembali ke depan, kedua kunci itu dapat ditarik ke luar secara bersamaan. Saat itulah, bersamaan dengan pintu 171terbuka, terdengar bunyi gesekan serpihan-serpihan intan yang dipasang di dalam lubang kunci. Bunyi inilah yang didengar Maryam seperti suara burung-burung beterbangan menyambut kedatangan Nabi Zakaria yang dinantikannya penuh dengan kerinduan dan kasih sayang seperti ayah kandungnya sendiri. “Duhai Paman! Seakan-akan burung-burung hudhud beterbangan. Burung-burung itu terbang untuk memberi kabar kepadaku akan kedatangan Paman,” kata Maryam saat setiap pintu mulai terbuka. Dari segi bentuk, pintu kelima yang indah dan tipis itu mungkin adalah wujud dari perasaan takjub dan kebahagiaan karena keselamatan telah dicapai. Nabi Zakaria pun memberi nama pintu ini dengan “Pintu Balqis”. Balqis adalah seorang ratu yang mendapat keselamatan setelah taat kepada Nabi Sulaiman. Dan memang, keduanya adalah hamba Allah yang taat kepada janji yang telah mereka berikan. Demikianlah, pintu ini adalah pintu keselamatan, baik bagi Maryam maupun masyarakat al-Quds. Di depan pintu ini manusia akan merasa segar, lapang dadanya. Sementara itu, wujud Maryam dalam pintu “keselamatan” ini adalah “seorang yang taat” sehingga nama pintu ini baginya adalah “riayat”, ketaatan. Pintu yang membuat Maryam sebagai seorang hamba yang menapaki derajat ketaatan, yang mendekatkan diri kepada-Nya. Berarti pula seorang yang telah mencapai rahasia keselamatan. Sepanjang taat kepada Tuhannya, kedamaian dan kelapangan akan dilimpahkan kepadanya. Dalamalamkosmos,padanannamadariintisaripembahasan ini adalah “falak”. Peredaran planet-planet dalam garis orbitnya merupakan salah satu kisah dari pintu kelima ini. 172Dalam tataran pintu kelima ini, Maryam adalah seorang hamba yang telah mencapai kematangan ruhani dalam terikat dengan Tuhannya. Ini seperti planet-planet di angkasa menjaga ikatan dan ketaatan pada garis orbit dan gravitasinya. Di depan pintu ini, kosmos terjaga keseimbangan, keharmonisan, keserasian, dan kedamaiannya. Perasaan telah mencapai keselamatan pertama-tama tumbuh dari dalam jati diri individu sehingga ia akan menggema membentuk lapisan-lapisan, lalu meluas sampai ke tengah-tengah masyarakat. Setelah itu, jagat raya akan terhubung dengan ikatan rantai saling “menghormati” dan “berlemah-lembut”. Di balik pintu ini, Maryam adalah seorang hamba yang dengan penuh kesungguhan mengikat diri kepada Tuhannya dalam posisi ketaatan. Pintu keenam Perlindungan Pintu ini terbuat dari batang pohon pinus yang terlihat begitu sederhana. Tidak ada gembok dan juga lubang kunci. Setiap orang yang melihatnya dari luar akan berpikir pintu ini tidak mungkin dapat dibuka. Ya, pintu ini tanpa bandul pengetuk, tanpa kunci, tanpa pegangan... Ia datar, tanpa gembok dan lubang kunci... Seolah-olah jalan terhenti di depan pintu itu. Seakan-akan Maryam yang berada di balik pintu itu tidak akan menyaksikan 173lagi cahaya matahari di siang hari. Ia seperti lenyap dalam sebuah dongeng, sebuah kisah. Dan ia kembali untuk sama sekali tidak pernah hidup. Begitu rapi dan rapat pintu ini menutupi. Dahaga Maryam di balik pintu yang tak berlidah ini. Ini adalah dalil dari “kesamaran” seorang Maryam. Ia ibarat kilau percikan epifanik di balik pintu ini. Dan Maryam adalah yang tak terlihat meski terlihat, yang menutup diri untuk tidak terlihat meski terlihat laksana matahari... Tirai rahasia dalam kehidupannya bahkan tidak dengan sempurna tersingkap oleh mereka yang pada tingkat yakin mengenalnya. Misi kesabaran dan keberanian selalu akan memberikan alasan pada keabsurdan akhlak ahli akhir zaman, yang wajahnya pun belum pernah terlihat. Orang- orang di dekatnya tidak dalam tataran sempurna mampu mengenalnya, sedangkan mereka yang berada jauh darinya tidak akan melihat meski mengetahuinya... Paradoks dari ketidakterlihatan Maryam dalam kondisi terlihat, atau terlihat dalam ketidakterlihatan, tidak lain adalah kelanggengannya. Di balik pintu perlindungan ini, Maryam membisikkan rahasia pencapaian keabadian dari dunia fana. Meski demikian, jejak dan gambaran dalam kehidupannya yang hakiki akan senantiasa berlanjut sepanjang masa. Pintu keenam ibarat seorang penjaga yang begitu tangguh dan kuat. Ia rela berkorban demi tidak membagi rahasia. Begitulah perlindungan dalam pintu ini. Sebagai pintu perlindungan, hanya sejengkal batas antara ada dan tiada, antara kisah dan kehidupan nyata, antara riwayat dan hakikat. 174Ya, kini di depan pintu perlindungan ini Nabi Zakaria berada dalam pengabdian mengemban amanah seorang Maryam yang yatim-piatu dan telah dikurbankan. Meski demikian, ruhnya senantiasa berada dalam kesadaran, bahkan senapas dalam panjatan doa Nabi Adam yang dititahkan menjadi manusia dan nabi pertama... Pintu ini juga merupakan kenangan. Saat kenangan dan ingatan datang sampai ke depan pintu perlindungan ini, hal seperti inilah yang selalu terjadi. Kedua tangannya tertengadah ke udara seraya bermunajat dalam uraian doa penuh linangan air mata sebagaimana doa-doa yang telah diucapkan para nabi terdahulu. Begitulah Nabi Zakaria berzikir panjang mengingat Tuhannya. Hal yang sama terjadi pada Maryam. Saat berada di balik pintu ini, ia memanjatkan doa dengan mengenang silsilah para nabi satu demi satu. Doa yang dipanjatkan Maryam dengan mengenang Nabi Adam adalah demikian “Tuhanku! Aku memohon agar Engkau berkenan menghidupkan hati ini dengan nur makrifat yang abadi. Ya Allah, ya Allah, ya arharmarrahimin! Hamba memohon dengan limpahan anugerah dan rahmat-Mu untuk menyelamatkan agama hamba dari segala bentuk kekurangan dan kerusakan, agar Engkau menjaga iman hamba sampai terhembus napas terakhir, agar diri hamba Engkau hindarkan dari kejahatan orang-orang zalim yang tidak memiliki belas kasihan, agar Engkau melimpahkan rezeki kepada diri ini yang senantiasa berusaha setia menjadi hamba-Mu, baik di dunia maupun di alam akhirat nanti. Sungguh, Engkau adalah Zat Yang Mahakuasa atas segalanya. Hanya Engkau Zat yang mampu mengabulkan doa sehingga kabulkanlah doa hamba!” 175Kemudian, Maryam menyampaikan salam kepada Nabi Nuh seraya bermunajat kepada Allah dengan munajatnya “Tuhanku Yang Maha Pengasih lagi Penyayang! Engkaulah Zat yang tiada pernah membutuhkan siapa-siapa, yang menjadi curahan semua pujian, Yang Mahaindah, tiada padanan dalam segala titah dan penciptaannya. Hamba bersaksi bahwa Engkaulah Tuhan yang terhindar dari segala sifat kurang!” Kemudian Maryam mengenang Nabi Ibrahim dengan berucap salam kepadanya seraya berzikir kepada Allah “Tuhan Yang Mahaagung lagi Perkasa, yang jauh lebih dekat daripada kedekatan ciptaan kepada-Nya. Tuhan yang telah menyelamatkan Nabi Nuh ke pantai keselamatan, yang telah menerima dan mengampuni pertobatan Nabi Adam, yang keagungannya dipuja gelap malam dan terang siang. Aku bersaksi bahwa Engkau Maha terhindar dari segala bentuk kekurangan, baik yang mungkin maupun yang tidak mungkin terlintas dalam pikiran.” Dalam rangkaian salam dan kenangan kepada para nabi terdahulu, Maryam juga mengucapkan salam kepada Nabi Ismail sambil berdoa dengan doa yang telah dipanjatkannya “Tuhanku! Engkaulah Yang Maha Mengetahui segala yang tersembunyi, bahkan dalam celah hati yang paling rahasia sekali pun. Engkaulah Yang Maha Rauf dan Rahim. Tidak ada satu hal pun di langit dan bumi yang tersembunyi bagi-Mu. Engkaulah Mahasuci! Maha Terhindar dari segala kekurangan!” Kemudian Maryam bertasbih kepada Allah dengan bacaan tasbih Nabi Ishak “Tuhanku! Engkaulah yang menghilangkan segala kekhawatiran, yang menciptakan jalan keluar bagi kesulitan dan kepedihan setiap hamba, yang senantiasa menjawab 176doa setiap hamba yang berada dalam kesulitan. Hanya Engkau Yang Maha Rahman dan Rahim, baik saat di dunia ini maupun kelak di hari akhirat. Penghambaanku semata- mata hanya terikat kepadamu. Hanya kepada-Mu pula diriku menambatkan harapan terkabulnya permintaanku. Guyurlah diriku hingga basah kuyup dengan limpahan rahmat yang akan Engkau curahkan dari sisi-Mu sehingga diriku tidak akan pernah jatuh menjadi pengemis belas kasih kepada yang selain dari diri-Mu.” Di balik pintu keenam ini pula Maryam bertasbih dengan bacaan tasbih Nabi Ayub. “Ya Allah! Tuhan yang menjadikan rasa takut dan gemetar dalam nafsu. Engkaulah Yang Mahaagung, Mahatinggi kemuliaan-Mu... Zat yang menjadi tujuan segala puji dan sanjungan... Yang menggenggam segala makhluk dengan ilmu dan rahmat-Mu. Yang Maha Tidak Berbatas. Yang tidak mungkin pernah butuh kepada siapa pun. Yang menghindarkan bala dan bencana kepada setiap hamba yang Engkau cintai! Aku menyucikan-Mu dari segala kekurangan dan kejelekan.” Kemudian, Maryam memanjatkan tasbih dengan lantunan tasbih Nabi Saleh. “Duhai Sultan para sultan yang tiada padanan bagi- Mu. Yang Mahamutlak memiliki kemuliaan. Yang Maha Mengetahui segala yang telah dan akan terjadi. Yang Maha Memiliki dan tidak ada satu hal pun yang tersembunyi bagi-Mu! Engkaulah Yang Mahasuci, Yang Maha Terhindar selamanya dari segala kejelekan dan kekurangan!” Kemudian, Maryam memanjatkan doa sebagaimana yang telah dipanjatkan Nabi Yunus saat berada dalam perut ikan 177“Tuhanku! Engkaulah Yang Mahasuci dari segala kelemahan, kekurangan, kebutuhan, dan keharusan! Engkaulah satu-satunya Zat Yang Maha Memberi Hukum. Yang Maha Mencipta makhluk-Nya dengan tanpa kekurangan. Yang Mahakuasa dan kuat atas segalanya. Yang menjadi tujuan segala puji dan sanjungan. Engkau Maha Mengetahui semua hakikat karena Engkaulah Hakikat Utama. Yang Maha Mempersempit dan juga Maha Melapangkan sesuai dengan kehendak-Mu. Engkau pula yang menganugerahi amal kebaikan kepada hamba-hamba-Mu!” Kemudian, Maryam mencurahkan isi hatinya dengan munajat Nabi Yakup “Tuhanku yang menjadi tumpuan harapanku. Janganlah Engkau biarkan diriku jatuh dalam keadaan putus asa. Duhai Allah! Engkau berlari membantu setiap hamba yang memohon bantuan. Ulurkan tangan-Mu kepada hambamu ini yang papa dan tidak memiliki siapa-siapa! Tuhanku yang tidak akan pernah menampik hamba-Mu yang dengan penuh pertobatan mendekatkan diri kepada-Mu. Kabulkanlah pertobatan hamba ini yang tidak memiliki satu pun pintu selain dari pintu-Mu! Maryam kembali berdoa dengan ucapan yang telah dipanjatkan Nabi Yusuf kepada Allah “Tuhanku! Engkaulah yang Maha Menjawab setiap jerit permohonan, yang membantu setiap hamba yang butuh pertolongan, yang menghilangkan kesedihan yang diderita setiap Engkau Maha Melihat dan Mengetahui keadaan diriku ini yang tampak jelas dalam penglihatan-Mu. Tunjukilah jalan keluar kepadaku dan berikanlah kekuatan untuk mengikutinya!” 178Akhirnya, Maryam menyelesaikan munajatnya dengan doa Nabi Musa “Tuhanku yang sama sekali tidak pernah berbuat kezaliman di jagat raya ini, yang dengan kemuliaan-Nya semakin lebih dekat dari kedekatan makhluk itu sendiri, yang dengan kedekatan itu menjadikan Engkau Mahamulia, Zat yang takhta-Mu tiada berbatas, yang tak berbatas pula dalam kekayaan-Mu. Engkaulah Tuhanku, Zat Yang Mahasuci dan terhindar dari segala kekurangan. Duhai Allah! La haula wala quwwata illa billahil aliyyil adzim. Jika ada Zat yang memiliki perbendaharaan tak terbatas sebagai tempat aku memohon, itu tidak lain adalah diri-Mu. Segala puji dan syukur hanyalah untuk-Mu. Dan aku pun memuji-Mu, mengutarakan segala kebutuhanku. Duhai Allah! Jadikanlah kebaikan para musuh terlihat di antara dua mata dan kejahatannya terinjak di bawah kaki. Duhai Allah. Hanyalah dengan bantuan-Mu diriku dapat menangkal kejahatan para musuh yang jahat. Untuk itulah diriku memohon bantuan dari sisi keagungan-Mu; berlindung dalam kodrat dan kekuasaan-Mu. Tuhanku! Dengan keagungan-Mu Engkau telah menitahkan alam Arsy menjadi seimbang. Tiada seorang hamba pun yang mampu menandingi kemampuan-Mu, tidak mungkin. Engkaulah Yang Mahaagung dalam kemuliaan. 179Tiada Tuhan selain diri-Mu! Engkaulah Yang Maha Mengetahui segalanya. Dan Muhammad  adalah utusan-Mu. Dialah Allah Yang Maha Halim dan Karim. Pemilik Arsy. Hanya kepada-Nya segala puji dan syukur semua makhluk senantiasa dipanjatkan, karena Dialah Tuhan seluruh alam.” Pintu keenam yang merupakan perlindungan juga merupakan pintu zikir, pintu tempat mengingat dan mencurahkan segala isi hati. Dia ibarat stalaktit yang memanjang ke angkasa. Saat pintu ini terbuka, hal itu tidak lain berarti terbukanya ruh yang khusyuk, hati yang berserah meluapkan isinya. Saat cinta telah merekah di dalam hati, ia tentu ingin mengungkapkan isinya. Seperti buih susu yang berubah menjadi krim, yang ingin menunjukkan wujud asli dari apa yang ada di dalamnya, yang ingin memuji, mengigau menyebut nama kekasihnya… Inilah hal yang terjadi di pintu keenam. Nabi Zakaria pun meluapkan cinta yang begitu besar kepada Allah sehingga air mata mengalir dari wajahnya, membanjiri semua tempat di depan pintu ini. Sampai-sampai, linangan air mata itu bergerak membuka pintu… Pintu ini akan terbuka karena hal yang terjadi dari perlindungan, zikir, dan doa-doa… Pintu keenam tak lain menggambarkan keluasan Maryam. Seorang yang memiliki dimensi lain, alam yang lain, warna yang lain, dan juga bahasa lisan yang lain. 180Seorang yang berzikir kepada Tuhannya dengan bahasa dari berbagai tingkatan alam, seperti tumbuh-tumbuhan dan hewan. Di balik pintu inilah Maryam berzikir kepada Tuhannya dengan semua bahasa. Laksana pelangi di angkasa. Terpancar darinya bahasa setiap lisan makhluk dalam zikrullah… “Jika engkau ingin menyaksikan hakikat yang tinggi ini secara lebih dekat, hampirilah lautan yang berombak angin topan. Tanyakan kepada perut bumi yang mengguncangkan isinya. Tanyakan apa maksud perkataannya. Tentu engkau akan mendengarnya melantukan lafaz Ya Jalil, Ya Aziz, Ya Jabbar’. Kemudian, tanyakan pada makhluk-makhluk kecil yang berada di dasar lautan dan di hamparan daratan yang mendapati rahmat dan kasih sayang-Nya. Apa kata kalian?’ Engkau pun pasti akan mendengar jawaban dari mereka Ya Jamil, Ya Rahim’. Dan dengarkanlah langit! Bagaimana ia akan mengatakan Ya Jalilu Zuljamal’. Tanyakan pula kepada bumi yang juga akan menjawah Ya Jamilu Zuljamal’. Demikian pula dengan hewan-hewan yang akan berucap Ya Rahman, Ya Razzak, Ya Rahim, Ya Karim, Ya Latif, Ya Atuf, Ya Musawwir, Ya Munawwir, Ya Muhsin, Ya Muzayyin.” Sementara itu, di balik pintu ini Maryam yang berzikir dengan lidah semua makhluk berada dalam kedudukan “berserah diri” sehingga nama pintu yang sesuai baginya adalah as-Salimah, yang berarti seseorang yang telah berserah diri, yang mencapai posisi salim. Yang ruhnya telah mencapai kedamaian dan kelapangan. Begitulah seorang Maryam di balik pintu ini. Pintu keenam yang menjadi tempat untuk menguak jati diri dan kelebihan Maryam ini telah menunjukkan bahwa wanita itu adalah seorang yang terpilih; yang dilindungi, dijaga, dan diasuh dengan penuh perhatian. 181Pintu ini pada waktu yang sama juga menggambarkan benteng yang kokoh dan luar biasa. Benteng yang disebut hasn-i hasin, yang merupakan perlindungan berlapis. Hasin berarti yang tidak akan mungkin ditembus atau dicapai karena begitu kokoh dan tangguh, sementara hasn-i hasin berarti benteng perlindungan yang kokoh. Kata masun yang berarti melindungi, membentengi, berasal dari suku kata yang sama. Namun, benteng itu bagi Maryam bukan datang dari diri sendiri. Ia hadir dari Tuhannya Yang Maha Melindungi. Begitulah Maryam menjadi seorang yang terlindungi dari segala nafsu amarah, kejahatan setan dan manusia, serta musuh yang selalu menebar itnah dan perangkap. Tuhannya telah mengabulkan doa perlidungannya. Doa, ibadah, dan pendekatan diri kepada Allah adalah kedudukan pintu keenam. Dengan ketaatan, ibadah, dan doa, Allah telah menjadi tempat berserah diri. Allah juga menjadi wakil, sahabat, dan penolong bagi Maryam. Bahkan, Allah telah menjadi sebaik-baik pelindung. Yang melindungi Maryam dari sifat-sifat tercela, seperti kesombongan, keangkuhan, riya, ujub, nifak, dan juga dari segala kejelekan dan marabahaya. Allah telah mengambil Maryam dalam perlindungan-Nya dengan penghambaannya yang sempurna dan kedekatannya kepada Tuhannya. 182Maryam laksana gugusan pelangi di angkasa yang memancarkan warna-warna panjatan doa dan zikir sehingga mencapai kedamaian dan perlindungan. Pintu yang ketujuh Rahasia Pintu rahasia adalah tirai yang menyelimuti Maryam meskipun pintu ini yang membuka dirinya kepada kita. Dalam pintu ini, nama yang tercantum bagi Maryam adalah “sirriyat” sehingga di balik pintu ini Maryam adalah seorang yang mendapati nama “sirriyah”. Namun, mengenai hal ini kita tidak mampu menulis banyak. Karena tirai tertutup dan terpisah. Karena di balik pintu ini Maryam telah mencapai kesempurnaan. Ia telah mencapai kedudukan rahasia. Posisi yang berada di atas semua nama. Karena ia adalah rahasia dari rahasia, yang setiap pena pun seolah-olah tumpul untuk menuliskannya. Patah, tercerai-berai... Bahkan, ia hanya mampu ditenangkan dengan lafaz La ilaha illa-llah, Muhammad Rasulullah’. -o0o- 18319. Mlht Malakt Hari berganti minggu, bulan, dan tahun. Musim pun bergerak. Kini, Maryam telah berusia enam belas. Ia memang seorang remaja. Namun, dalam hal ketaatan dan kesabaran, Maryam telah menjadi seorang azizah yang menjadi kekasih masyarakat. Sementara itu, Merzangus telah menginjak usia tiga puluh. Ia tetap tidak menikah demi mengabdikan diri membantu keluarga Zakaria . Al-Isya masih belum dikaruniai anak meski usianya lima puluh tahun lebih, sementara suaminya, Zakaria , berusia sekitar delapan puluh tahun. Suatu hari, di sela-sela makan malam, Zakaria  bercerita tentang seorang pemuda berpakaian serbaputih yang ia lihat pada suatu malam. “Aku sama sekali belum pernah melihatnya di antara para ahli tulis dan santri pembina. Sungguh sempurna perawakannya. Tubuhnya agak tinggi. Pundaknya lebar. Panjang dan hitam rambutnya, basah mengilap. Pakaiannya sutra serba putih sehingga terlihat menyala dalam kegelapan 184malam. Baunya harum semerbak. Saking harumnya, aku mengenalinya pertama-tama dari bau itu. Begitu tercium, aku selalu mendapatinya dari kejauhan pasti sedang sedang berdoa atau salat. Namun, begitu aku mulai berjalan cepat mendekatinya, entah mengapa terjadi sesuatu sehingga ia pun menghilang dari pandanganku. Aku sendiri tidak tahu apakah kejadian itu adalah ilusi atau karena pikiranku terganggu oleh faktor usia yang telah lanjut....” Saat mengulurkan segelas berisi penuh air putih, al-Isya berkata sambil tersenyum, “Mungkin dia malaikat.” Mereka pun tidak lagi memperbincangkan masalah ini. Kini, mereka sudah tidak lagi seperti dahulu yang begitu khawatir dengan keselamatan Maryam. Apalagi, para sesepuh Baitul Maqdis dan masyarakat begitu mencintai Maryam. Seisi kota al-Quds telah jatuh hati kepadanya. Apalagi, empat ribu haiz dan santri tidak mampu menyaingi kualitas Maryam. Jika Merzangus dan al-Isya tidak dihitung, di al-Quds tidak lagi ada wanita yang bisa membaca dan menulis selain Maryam. Maryam pun telah menjadi santri yang sangat pintar dalam menulis hattat. Meski tidaklah mungkin bisa dibandingkan dengan para santri lain, karyanya yang sangat indah itu tidak bisa dipertunjukkan di Sahra Suci lantaran dirinya seorang wanita. Karya Maryam hanya boleh ditunjukkan di kelas santri yang masih kecil sebagai contoh bagi mereka. Lain dengan santri hattat pada umumnya, pena hattat milik Maryam berwarna merah tua. Pena ini adalah pemberian khusus Nabi Zakaria. Pena ini tidak pernah dicampur dengan pena-pena yang lain ketika semua pena harus kembali dikumpulkan menjelang malam. Pena Maryam secara khusus disimpan di tempat khusus yang terbuat dari kayu besi. 185Pernah, suatu hari pena milik Maryam hilang. Mosye lalu dengan sengaja mengambil kesempatan itu dengan meminta Maryam menulis hattat dengan pena yang lain. Maryam memang tidak pernah menulis dengan pena lain. Inilah yang dimanfaatkan Mosye untuk menguji kesangsiannya pada kemampuan Maryam. “Kalau benar dia seorang yang memiliki bakat lebih dari yang lain, silakan menulis di depan umum. Kita akan lihat hasilnya,” kata Mosye kepada semua orang. Terjadilah kembali peristiwa yang sangat luar biasa. Setiap kali Maryam mengambil pena yang tersedia, pena itu selalu pecah dan terbelah menjadi dua. Mosye pun sangat senang. Ia tertawa terbahak-bahak di depan umum. “Bagaimana mungkin dirinya seorang hattat. Lihat saja, setiap pena yang dipegangnya patah, terbelah menjadi dua. Mungkinkah tangannya terlalu berat seperti besi?” demikian Mosye mengejek Maryam di depan umum. Pada hari itu, Maryam terus mengambil pena satu demi satu sampai tidak tersisa lagi pena yang tidak patah. Orang-orang pun terus menertawakannya, mengejek dan menggunjingnya. Sepanjang hari itu, tumpukan pena yang patah seolah-olah telah menggunung. Ustaz Efraimzad lalu datang membantu Maryam. “Cukup! Cukuplah. Berhentilah menulis Anakku. Aku yakin ada hikmah di balik kejadian ini. Tidak mungkin setiap 186pena yang diambilnya akan patah seperti ini. Kira-kira apakah sebabnya?” “Semenjak kecil saya selalu berdoa kepada Allah, wahai Ustaz Efraimzad, agar Allah tidak pernah memperkenankan tanganku menyentuh barang haram,” kata Maryam lirih. Mendengar kata-kata itu Mosye langsung berdiri seraya berbicara dengan suara keras. “Jadi, maksudmu adalah seorang wanita haram untuk membaca dan menulis. Itukah yang engkau maksudkan Maryam?” Maryam hanya tertunduk. “Bukan, yang haram bukan membaca dan menulis bagi wanita. Yang haram adalah hak orang-orang yang telah bekerja dengan jerih payah dan keringat tapi belum juga dibayar.” “Apa! Coba dengarkan yang dikatakan anak ini! Anak kecil ini ternyata ingin memberi nasihat dan pelajaran kepada kita. Di sini adalah Baitul Maqdis wahai wanita kecil. Jagalah sopan santun! Sekarang katakan, keringat siapa yang selama ini hak- haknya belum dibayar? Semua itu tidak lain cerita bual belaka. Ah, para wanita! Mereka hanya pembuat gosip. Ketahuilah bahwa wajah setiap wanita seperti dirimu ini selalu diperalat oleh setan.” “Saya tidak menyalahkan siapa-siapa, Tuan. Saya hanya menyampaikan apa yang saya dapati sebagai anak kecil.” “Cukup dan diam! Berhentilah menyalahkan orang lain. Sekarang akui saja kalau tulisan pada papan kaligrai yang dipajang di kelas-kelas itu bukan engkau yang tulis. Jika benar engkau bisa menulis hattat, pastilah semua ini tidak akan terjadi. Namun, pada hari ini semuanya telah terbukti. Engkau sama sekali tidak bisa menulis. Untuk menutupi 187ketidakmampuanmu, engkau dengan sengaja mematahkan semua penanya. Ya sudahlah, sekarang biar saya tunjukkan bagaimana cara menulis hattat dengan baik.” Di antara gemuruh tertawa, ada tujuh pembina yang sudah siap sedia bersimpuh untuk memerhatikan bagaimana cara menulis hattat dengan baik. Mereka juga sudah menyiapkan kain putih di atas sebuah meja untuk ditulis. Sayang, tidak ada satu pena pun yang tersisa. “Ternyata Maryam tidak menyisakan satu pena yang tidak patah, Ustaz Efraimzad. Mohon Anda perintahkan beberapa petugas untuk segera membeli pena yang baru. Lihat, semua orang sudah menunggu untuk menyaksikan bagaimana menulis yang benar.” Ustaz Efraimzad segera memanggil beberapa orang untuk segera membeli pena dari toko yang biasanya memasok pena untuk Baitul Maqdis. Namun, beberapa orang yang dipanggilnya itu justru hanya berdiam diri. Mereka tidak langsung berlari untuk segera membeli pena. Hal itu mereka lakukan karena pihak toko sudah tidak mau lagi memberikan peralatan tulis disebabkan utang yang telah menumpuk. “Apa!?” seru Mosye dengan suara lantang berpura-pura. “Semua ini adalah bentuk penentangan dan penghinaan terhadap tempat ibadah kita yang mulia!” “Bukan!” kata Ustaz Efraimzad dengan suara keras sembari mengusap-usap jenggot panjangnya yang sudah memutih. “Semua ini tidak lain adalah doa yang dipanjatkan Maryam semenjak kecil. Dia telah memohon kepada Tuhan agar tangannya dijaga dari barang yang haram”. 188“Karena semua pena ini belum dibayar, ia masuk dalam hukum yang haram. Karena itulah Maryam tidak bisa menggunakan satu pun dari pena-pena itu. Masih jugakah Anda sekalian tidak memahami hal ini? Yang salah adalah kita semua. Jika saja selama ini kita lebih berhati-hati dan memberikan hak setiap orang sebelum keringatnya mengering... Di antara kita, hanya Maryam yang memahami kalau pena-pena itu di dapat dari cara yang tidak halal.” Demikianlah, peristiwa ini telah menjadi saksi. Setiap usaha yang ingin menjelekkan Maryam akan balik menimpa si pembuatnya sehingga harus menanggung rasa malu yang besar. -o0o- Dengan pedang terhunus, Merzangus seakan-akan sedang memeragakan aktivitas menulis di atas udara seraya berbicara dengan kudanya, Suwat. “Suwat! Engkau tahu bahwa di al-Quds wanita hanya boleh menulis di udara hamparan pasir padang sahara,” kata Merzangus seraya menurunkan pedangnya dari udara untuk menuliskan nama Suwat di atas pasir. “Lihat! Aku menuliskan namamu di atas pasir. Jangan engkau ceritakan kepada siapa pun aku bisa membaca dan menulis. Engkau mengerti bukan!?” Suwat seolah-olah memahami kata-kata Merzangus. Kuda itu pun menggerak-gerakkan kepalanya, meringkik, dan melompat-lompat. Merzangus sangat senang. Ia lalu mengeluarkan potongan-potongan wortel dari sebuah kantong untuk diberikan kepada Suwat. 189“Karena pena terlarang bagi wanita, kita pun akan menggunakan pedang sebagai gantinya. Bukankah demikian Suwat?” tanya Merzangus seraya memasukkan kembali pedangnya yang bernama Ridwan ke dalam sarungnya yang masih tergantung di pinggangnya. Ia pun kemudian melompat ke punggung kuda itu. Suwat pun segera berlari sekencang- kencangnya. “Sungguh, aku iri kepada Merzangus,” kata al-Isya ketika melihat Merzangus memacu kudanya sambil melemparkan tombak ke arah yang jauh. “Ia telah mengabdikan diri seutuhnya kepada keluarga ini. Selama bertahun-tahun, ia melatih diri dan bekerja keras untuk keamanan Maryam. Ia juga tidak menikah. Ia tidak ingin kerja kerasnya berkurang dengan memiliki anak. Pekerjaan apa pun yang bisa dikerjakan laki-laki juga bisa dikerjakan Merzangus. Dialah anak laki-laki dan juga perempuan dari keluarga ini. Naik kuda, menyandang pedang, menjelajah gunung, menyusuri lembah dan hutan, berburu, dan memotong kayu. Iri dan terenyuh sekali hati ini melihat dirinya.” -o0o- Ketika Maryam sudah menginjak usia tujuh belas, kota al-Quds dilanda paceklik dan wabah penyakit. Terjadilah migrasi besar-besaran dan kematian massal. Bahkan, kondisi ini membuat Zakaria  kesulitan mendapatkan pekerja. Padahal, ia sangat butuh karena usianya sudah lanjut. Hujan tidak pernah turun. Tumbuh-tumbuhan mengering. Daun-daun di pohon-pohon zaitun pun ikut meranggas. Tak pelak, Merzangus bersama dengan para sahabat Zahter, yaitu 190Ham, Sam, dan Yafes, bekerja keras membantu kebutuhan hidup Zakaria. Yusuf sang tukang kayu juga bekerja dari pagi sampai sore di tempat pengerjaan kayu milik Zakaria. Hanya dengan kebersamaan dan persahabatan yang tulus seperti inilah kehidupan dapat ditopang. Al-Isya dan Merzangus bagaikan jarum jam yang tidak pernah berhenti bekerja untuk mengatur serta mencukupi kebutuhan makan dan pakaian Maryam. Sementara itu, Nabi Zakaria ditemani kemenakannya, Yusuf, telah membuat jadwal untuk membawa segala kebutuhan Maryam yang telah disiapkan. Suatu hari, ketika Zakaria  mengunjungi Maryam di mihrab, ia dikagetkan dengan nampan berisi buah- buahan yang masih ditutupi kain putih. Nabi Zakaria pun segera bertanya asal buah-buahan itu. Apalagi, jenisnya bukan yang bisa didapatkan atau dihadiahkan oleh orang-orang yang ada di sekitar masjid. Dalam kondisi kekeringan dan paceklik saat itu, kebanyakan orang hanya mampu makan dengan sebutir zaitun dan roti kering. “Wahai Maryam, dari manakah makanan ini?” tanya Zakaria . “Makanan ini datang dari sisi Allah. Jika menghendaki, Allah akan mampu melimpahkan rezeki yang tak terbatas,” jawab Maryam seraya membuka kain penutup buah-buahan itu dan menyuguhkannya kepada Nabi Zakaria yang telah ia anggap seperti ayah kandungnya sendiri. 191 Kini, Maryam seakan-akan lebur menjadi satu titik. Dan titik itu adalah titik kepedihan. Satu titik yang membuatnya semakin mengerut dalam kesakitan seakan-akan tulang-tulang di sekujur tubuhnya hendak dipisahkan. Pandangan kedua matanya menjadi gelap. Maryam pun roboh, terkulai di atas tanah. Ia mencoba bangkit dengan susah-payah, dengan tenaga yang sedikit tersisa... Rasa sakit yang diderita Maryam semakin terasa saat bayi yang berada di dalam kandungannya bergerak-gerak. Dalam rasa sakit yang tidak tertahan itu, Maryam membungkuk untuk mengusap tubuhnya yang basah oleh keringat. Ini adalah rasa sakit yang timbul pada saat akan melahirkan. Terlebih, dia hanya seorang diri. Malu Maryam kepada dirinya yang begitu papa. Ia pun bersimpuh di atas tanah. Apakah yang sebenarnya telah terjadi dalam kehidupannya? Seakan-akan air tak pernah berhenti mengalir dari dalam kandungannya seperti guyuran timba dari sebuah sumur yang dalam. Keadaan inilah yang membuat Maryam bertekuk lutut, bersimpuh lemas di atas tanah.... Namun, beberapa saat kemudian, Maryam berusaha menjejakkan kedua kakinya dengan rasa sakit yang begitu menusuk jantungnya. 242Dirinya tidak bisa tenang tanpa bergerak lantaran rasa sakit yang ditahannya. Kesakitan yang akhirnya membuat Maryam bersandar pada sebatang pohon kurma. Pohon yang telah mengering seluruh batang dan daunnya. Pohon yang berada di tanah kering dengan batu-batuan yang runcing. “Aduuuh!!!” rintih Maryam pedih. “Aduh kurma! Kurma kering, kurma yang sama menderita denganku. Sungguh, demi Tuhan yang telah menumbuhkan dirimu dalam tanah kering berbatu panas dan tajam! Apakah dirimu telah ditumbuhkan di sini demi dapat menjadi sandaran bagi seorang yatim?” -o0o- 24327. Caan Cta Sbang Pohon urma Sebatang pohon kurma telah menjadi saksi bagi Maryam. Ia ikut menangis tersedu-sedu dengan air mata yang terus berlinang. Entah apa saja yang akan dia katakan jika mampu berbicara dengan sahabatnya yang kini sedang dalam derita. “Ah ibunda Maryam. Maryam yang telah dipilih oleh Rabbi. Maryam yang telah dikurbankan. Maryam yang telah disucikan. Maryam yang tirainya tertutup rapat untuk dunia, tapi terbuka kepada Allah Maryam yang terang cahaya keningnya sebagai penanda seorang hamba yang terpilih. Mengering sudah sekujur dahan-dahan dan daunku ini saking lamanya menunggu dirimu. Tak tersisa sudah air di kandung badan. Jika saja sebelumnya tidak diberi berita gembira akan hari saat engkau bersandar di punggung batangku, niscaya telah 244lama sudah kesabaranku berakhir. Telah lama pula diriku membusuk bercampur tanah. Lenyap sudah diriku jika tidak tersisa harapan akan perjumpaan denganmu. Dan kini, sebagaimana yang engkau lihat, diriku adalah sebatang pohon kurma yang telah mengering, sebatang pohon yang setelah ini akan tercatat sebagai pohon yang pemalu namun cerah kehidupan masa depanku. Sungguh, segala puji dan syukur aku panjatkan ke hadirat Allah yang telah menitahkan diriku sebagai teman dan kekasih di dalam kegelapan malam. Ia telah memilih diriku di antara semua pohon untuk menjadi sandaran saat engkau begitu lemah. Janganlah engkau lihat diriku yang telah mengering daun dan dahan-dahannya. Banyak sekali darwis yang telah lama melebur dalam jalan perjuangannya di tengah-tengah padang pasir saat mereka mencari jejak sang kekasihnya. Sampai-sampai mereka sendiri telah melebur menjadi jalan. Seperti para darwis itulah diriku jika engkau tahu saat engkau belum datang dan menyandarkan tubuhmu. Saat-saat sebelum engkau datang, penantian merupakan kesendirian teramat pedih yang tiada berujung. Kini, pada malammu yang pedih ini, terimalah diriku yang sudah tua dan kering ini sebagai temanmu sebagaimana ibumu yang teramat engkau rindukan dan ayahmu yang tidak pernah engkau lihat wajahnya. Ah, Maryam! Saudaraku yang tinggal sebatang kara.... Saudaraku yang berwajah cantik, yang pada malam- malam hari seorang diri dalam derita. Engkaulah yang selama bertahun-tahun ini aku tunggu. Engkau datang seperti bintang, tepat pada saat harapanku hampir punah. 245Bagaikan sungai... Bagaikan dalil... Bagaikan ayat… Segala puji dan syukur aku panjatkan kepada Zat yang telah menjadikanku sebagai kekasihmu, yang telah membubuhkan namaku dalam buku-buku catatan bersanding dengan namamu... Selamat datang! Wahai saudaraku tercinta. Kini, engkau bisa bersandar dengan sepenuhnya pada batangku. Janganlah takut, pijakan akar-akarku tidak akan roboh. Akar-akarku telah terikat dengan takdir yang telah dititahkan kepadamu. Karena itulah tidak mungkin aku pergi, tidak mungkin aku akan lari. Wallahi. Billahi. Tallahi. Tidak mungkin aku berputus asa dari sumpahku. Selamat datang temanku yang telah bertahun-tahun aku tunggu, teman yang demi takdir yang telah digariskan kepadamu aku rela bersimpuh bertahun-tahun menunggu. Dan sekarang, saatnya Maryam bersandar dengan rasa aman. Entah berapa musim salju silih berganti, berapa musim semi, musim panas... entah berapa lama terik padang pasir membakar kepalaku. Namun, aku tetap bersabar, tetap teguh, tetap bertahan.... Dan hanya untuk beberapa saat engkau bersandar, semua kepedihan, kesakitan, dan perjuangan ini aku lakukan… 246Agar kekasihku merasa nyaman bersandar, aku relakan pelepah dan daun-daunku mengering. Hingga sekarang ibunda Maryam, Ibunda sang Marziyyah, Ibunda sang Saiyyah, Ibunda sang Azra, Ibunda sang Asra, Ibunda sang Bakirah, Ibunda sang Marbubah, Ibunda sang Zahra, Ibunda sang Mahjubah, Ibunda sang Masummah, Ibunda sang Zahidah, Nama terbaik dari nama-nama yang baik.. Sekaranglah saatnya engkau mengenakan mahkota kesabaran, keteguhan. Dan sejak saat ini, semua makhluk di sepanjang zaman akan mengenalmu sebagai seorang yang bersandar pada sebatang pohon kurma dengan mengenakan mahkota gelar kesabaran dalam setiap ujian kesabaran, keteguhan, dan ketegaran Rabbani. Sekarang, teguhkanlah, kuatkanlah dirimu sehingga setiap kaum hawa setelahmu juga akan melihatmu seraya bersandar sepertimu dalam setiap derita yang dipikulnya. Sungguh, engkaulah pengantin wanita sang kesabaran, Sungguh, engkaulah malaikat keteguhan, Penuntun setiap nama dalam ketabahan, Teladan terbaik dalam ketahanan... 247Dengan demikian, setiap hamba yang memikul kepedihan ini, demi rida Allah, juga akan mengenangku. Mengenang dan dengan seizin Allah, kemudian bersandar pada batang kurmaku ini yang sejatinya hina. Semoga salam terucap kepada siapa saja yang membubuhkan namaku sebagai sebatang pohon kurma kering’ dalam catatannya. Sebatang pohon kurma kering yang terbakar oleh terik matahari cinta, yang mengorbankan dirinya demi bunda Maryam sang kekasihnya.” -o0o- 24828. ithn Marym “Kepedihan yang dirasakan saat hendak melahirkan mendorongnya untuk bersandar pada sebatang pohon kurma kering. Seandainya saja,’ katanya. Seandainya saja diriku mati sebelumnya sehingga menjadi seorang yang hilang dilupakan.’” Saat-saat Maryam merasakan sakit karena hendak melahirkan, takdir telah menuntunnya untuk berjalan ke tempat yang sama sekali tidak ia ketahui. Ia telah mengandung seorang bayi tanpa suami. Dan ini adalah ujian terberat dari Allah bagi seorang wanita. Sebuah ujian yang paling berat sepanjang zaman. Sebuah cobaan paling berat bagi kehormatan dan kesucian seorang wanita. Namun, bukankah saat di awal kehidupannya pun Maryam telah diberi isyarat bahwa “wanita tidak seperti laki-laki?” Dan kini, ujian yang telah ditimpakan kepadanya 249sebagai seorang wanita akan dicatat sebagai pelajaran bagi kaum hawa dalam menghadapi ujian agar tabah dan teguh hati. “Diriku tidak jauh lebih kuat daripada sehelai kecambah dalam langkahku di dunia ini.” Diriku adalah Maryam Seorang yatim lagi sebatang kara.... Diriku seperti sungai yang mengering dalam dekapan gunung. Laksana sebatang cabang dari pohon Huda-yi Nabit yang tumbuh dalam pemeliharan Allah. “Akar-akarku telah terikat dalam tanah,” kata sebatang pohon kurma kering. Sementara itu, takdirlah yang telah mengikat diriku. Tidak mungkin bisa lari dari ketentuan takdir… demikian diriku menunduk seraya bersabar. Diriku selalu berada di dalam ruangan. Berada di dalam diriku sendiri. Namun, malam ini aku diperintahkan untuk keluar. Berpindah. Berada di luar. Tanpa rumah. Tanpa atap. Tanpa alamat tujuan. Tanpa ada rumah, tanpa ada pintu untuk diketuk. Tak pernah diriku berjalan. Tak pernah diriku pergi. Hingga tak pernah pula diriku beralas kaki. Dalam sunyi gelapnya malam ini, 250Di tengah-tengah gunung yang tidak aku kenal, tidak pula aku mengerti ini. Dalam kesendirian di luar untuk melangkah dan melangkah tanpa aku mengerti, tanpa aku kenali. Aku kedinginan, wahai sebatang pohon kurma kering! Aku menggigil, wahai sahabatku! Selimutilah diriku, sembunyikan diriku… jangan engkau perlihatkan diriku pada orang lain. Setelah saat ini, setiap buku catatan akan membubuhkan kisah tentang apa saja yang aku alami. Ah! Bukalah tanahmu biar aku membenamkan diri di sampingmu; di dalam tanahmu yang hangat. Biarlah manusia melupakan diriku, biarlah manusia tidak menuliskan cerita tentang diriku. Dalam udara sedingin es, Sepanas api, Sekeras besi, Namun, siapa yang mengangkat hijabku? Ah! Jika saja diriku mati, mati.... Hingga tak akan pernah dibubuhkan ke dalam buku catatan, Hingga pena pun tak akan menuliskan namaku, Dan diriku akan menjadi orang yang hilang dilupakan...” -o0o- 25129. Suara eiga Jiwa mana yang menitahkan takdir rela menyaksikan rintihan pedih bunda Maryam bersama sebatang pohon kurma kering yang menjadi sandarannya. Tentu saja titah takdir tidak memiliki jiwa. Namun, demikianlah gambarannya. Allah, Zat yang bertitah, sejatinya tidak rela. Saat menyusun serangkaian ujian, Ia juga telah menyusun pendukung untuk menguatkan hati hamba-Nya. Karena itu, tanpa disangka-sangka, saat pintu harapan seakan mulai meredup, Allah memberikan kekuatan kepada Maryam untuk bersandar pada sebatang pohon kurma kering serta mengutus malaikat dan Isa untuk menjadi pendukungnya. Begitu kepedihan semakin menjadi, Maryam semakin sadar adanya kehangatan dalam setiap tarikan napasnya. Seolah-olah Allah yang telah menjadikan kesunyian malam terasa semakin pekat dalam derita, semakin menyayat di lubuk hatinya, telah mengirimkan para malaikat untuk melegakan hati Maryam. Pada saat-saat itulah terdengar suara Jibril  “Janganlah kamu bersedih hati. Sesungguhnya Tuhanmu telah menjadikan anak sungai di bawahmu. Dan goyanglah pangkal pohon kurma itu ke arahmu. Niscaya pohon itu akan 252menggugurkan buah kurma yang masak kepadamu. Maka, makan, minum, dan bersenang hatilah kamu. Jika kamu melihat seorang manusia, katakanlah, Sesungguhnya aku telah bernazar berpuasa untuk Tuhan yang Maha Pemurah sehingga aku tidak akan berbicara dengan seorang manusia pun pada hari ini.’” Lahirlah putra Maryam. Lepaslah kandungan Maryam. Seorang bayi yang Allah sendiri telah menyebutnya sebagai kalamullah telah lahir ke dunia sebagai mukjizat, sebagaimana Adam . Dan saat itu, Maryam hanyalah seorang diri. Kesendirian yang telah diatur Allah sehingga dunia dan isinya tidak lagi manis baginya. Bersama dengan keindahan dan kemegahannya, dunia telah meninggalkannya. Ia memang bukan seperti manusia pada umumnya yang membahagiakan diri dengan harapan duniawi, sehingga rintih dan kepedihannya bukan bersandar pada dunia dan nafsu manusia. Kepapaan dan kesendirian adalah medan yang telah disiapkan secara khusus oleh Allah untuk menempa jiwanya. Oleh karena itu, ketika manusia berteman dengan nafsu dan kebutuhan jasmani, Maryam berteman dengan para malaikat yang mengajari, menemaninya dalam penghambaan kepada Allah. 253Dan meski kenyataannya Maryam tercipta di dunia, Namun jiwa dan kehidupan bukanlah untuknya... Dialah seorang diri. Seorang yang tidak memiliki ibu, ayah, rumah, dan teman. Seolah kemapanan duniawi telah dicabut darinya demi suatu ujian Ilahi. Kehidupan yang umum dialami oleh layaknya manusia menjadi berlebih bagi seorang Maryam. Hanya dalam batas tertentu yang diperbolehkan baginya sehingga Maryam mampu tabah dalam keterbatasannya dan mampu mencapai tujuan mulianya tanpa terhalang segala hal duniawi. Ia bukan saja panutan bagi kaum hawa, melainkan juga bagi seluruh umat manusia yang dibimbing langsung “secara khusus” oleh Allah. Tidak ada hal yang dibutuhkan untuk menjadi pelipur lara, pendukung, penopang, maupun pemberi kesenangan bagi Maryam, Sejatinya ada beberapa orang yang selalu mendukungnya... Mereka tidak lain adalah Nabi Zakaria dan keluarganya, alam hewan dan tumbuhan, angin, siang, malam, dan juga para malaikat. Dan akhirnya Malaikat Jibril pun datang seraya berseru kepada Maryam. Berseru untuk mengempaskan kepedihan dan derita yang menghimpit jiwanya seperti barisan gunung menindih jantungnya. “Janganlah engkau bersedih hati!” seru Malaikat Jibril kepada Maryam laksana teman atau sahabat tempat berbagai perasaan. Dan dalam masa-masa sulit, Malaikat Jibril memang telah ditugasi untuk menjadi sahabat dekatnya. Setelah bayi Maryam lahir di alam yang paling aman dan paling rahasia, yaitu di perbukitan Betlehem, kuasa Ilahi telah 254menciptakan aliran sungai yang begitu jernih airnya sehingga dapat menghilangkan dahaga yang dirasakan Maryam dan juga bayinya. Dalam kelahiran yang umum, ibu dan ayahlah yang pertama-tama memberi ucapan selamat kepada sang bayi, bidan, dan dokter. Namun, bagi Maryam, sosok itu adalah Malaikat Jibril. “Makan dan minumlah. Selamat, bayimu telah lahir dengan selamat!” demikian seolah ucapan sang malaikat. Sang Ruhul Kuddus.... Sungguh, betapa ia adalah sahabat yang mulia. Utusan Allah yang sempurna, teman berbagi dan juga penopangnya. Semoga salam dari Allah tercurah bagi para kekasih dan kedua hamba-Nya! -o0o- 25530. Para Ali stronoi pn Dim Di atas Suwat, kuda tunggangannya, Merzangus memimpin ketiga pemuda ahli astronomi memacu kudanya sekencang tiupan topan. Tanpa henti, mereka terus memacu kudanya ke arah tenggara al-Quds. Tak ayal, dalam satu malam sampailah mereka ke Lembah Naml’. Nabi Sulaiman bersama pasukannya pernah menyeberangi lembah ini. Lembah berupa koridor sempit memanjang dan diapit pegunungan granit terjal yang seolah- olah tanpa ujung. Lorong curam yang sarat bahaya, ditambah jalan licin berliku-liku, menembus dengan singkat ke kota Askalan. Jalan ini sebenarnya hanya alternatif terakhir ketika perang terjadi atau wabah penyakit melanda. Itu pun harus dipandu seorang yang benar-benar memahami rutenya. Kalau tidak, Lembah Naml tidak lain adalah sebuah wahana kematian. Nama lembah ini diambil dari jenis semut yang begitu lincah merayap dari puncak-puncak bukit yang terjal seperti cerobong pembakaran alami. Inilah hewan paling pintar yang mampu bergerak gesit dalam lembah yang tidak mungkin dilalui manusia dengan berjalan kaki. Sebuah lembah yang 256sama sekali tidak mungkin dilalui seorang pun kecuali seorang pengelana besar dengan sebuah peta yang tidak mungkin pernah dilihat oleh seorang manusia. Merzangus tahu bagaimana menjinakkan Lembah Naml dari gurunya, Zahter. “Suatu hari, jika engkau harus melewati lembah ini, ketahuilah bahwa ia hanya mungkin dilewati dengan sabar dan puasa tanpa bicara,” kata Zahter menasihati murid dan juga anak angkatnya. Kini, Merzangus makin paham makna kata-kata Zahter saat itu. Merzangus juga masih berpikir, jika dirinya urung melintasi lembah itu, ketiga orang yang dipandunya pasti akan menyadari sandiwara yang sedang dimainkan. Mereka pun akan urung mengikuti Merzangus dan balik mengejar Maryam. Oleh karena itu, mau tidak mau dirinya harus menuruni lembah mematikan tersebut. Inilah jalur paling singkat yang dapat mengantarkan musair dari al-Quds ke kota Askalan meski mematikan. Inilah perjuangan seorang Merzangus, yang memilih jalan paling sulit untuk ditempuh dalam kehidupan. Ia tidak ingin rahasia Maryam dan bayi yang akan dilahirkannya terbongkar oleh ketiga ilmuwan itu, suatu hal yang akan membuat pihak penguasa membuntutinya. 257Dengan cambukan lembut pada perutnya, Suwat berlari semakin kencang. Di belakangnya mengejar Ismail Alawi dengan kuda putih bagai bintang menerobos kegelapan malam. Tidak lama kemudian, Ismail mampu mengejar kuda Merzangus. Saat itulah Ismail memberikan isyarat kepada Merzangus untuk memperlambat laju kudanya atau berhenti sejenak. Akhirnya, laju kuda melambat, namun Merzangus dan Suwat tidak menghentikan langkahnya. Suwat tampak marah karena lajunya diperlambat. Ia meringkik sambil melompat-lompat seolah-olah memberi isyarat untuk segera berlari dari ular dan setan yang mungkin keluar dari semak-semak belukar. Saat itu Merzangus membenahi cadarnya kemudian berseru dari atas kudanya. “Ada apa? Apa yang engkau inginkan?” “Temanku tertinggal jauh di belakang. Aku mengkhawatirkan keselamatan mereka. Kami sama sekali belum pernah melewati lembah yang gelap dan mengerikan ini. Namun, jika engkau memerhatikan posisi bintang di langit dan juga embusan udara yang semakin lembap dan asin, ini menunjukkan kita semakin mendekati arah laut. Benarkah engkau akan membawa kami ke tempat Sang Raja dilahirkan?” “Kalau tidak tahu, engkau harus mengikuti aku!” “Tapi, aku sangat mengkhawatirkan keselamatan temanku yang lain. Mereka tidak pandai menunggangi kuda seperti kita. Aku akan kembali mengejar mereka di belakang.” “Tidak bisa! Engkau tidak bisa tinggal diam atau kembali dari lembah ini. Ini adalah Lembah Naml. Lebih-lebih, di lembah ini dilarang keras banyak bicara seperti ini.” 258“Apa? Lembah Naml? Duhai Allah! Benarkah ini adalah lembah yang pernah dilewati Nabi Sulaiman bersama pasukannya? Kalau memang benar, berarti aku harus segera kembali!” Dengan segera Ismail menarik kekang kudanya untuk kembali ke arah semula dengan tekad bulat. Mendapati hal ini, setelah ragu untuk beberapa lama, Merzangus kemudian langsung memacu kudanya dengan kencang. Namun, setelah beberapa lama memacu kudanya dan menembus kegelapan lembah, mereka akhirnya berhenti sejenak untuk menghela napas dalam keputusasaan. Entah mengapa, kedua kuda tunggangannya kini tidak lagi mau berjalan. Belum juga Merzangus berkata “tunggu”, Ismail Alawi sudah melompat dari atas kudanya. Ia jatuh tersungkur dan mulai merintih keras sambil memegangi kedua matanya. Kudanya sendiri melompat-lompat, memukul-mukulkan kakinya dengan meringkik keras. Melihat Ismail yang merintih kesakitan, Merzangus langsung melemparkan selendang ke arahnya. Dengan berpegang pada uluran tali selendang itulah Ismail mencoba bangkit untuk kembali naik ke atas punggung kudanya. Begitu dapat kembali duduk di atas kuda, dalam napas terengah- rengah Ismail pun bertanya dengan nada marah, “Sebenarnya mau kamu bawa ke mana kami, wahai wanita malang!” Merzangus mengeluarkan pedangnya dari kerangkanya seraya berucap salam dengan pedangnya. “Aku adalah seorang prajurit yang telah bersumpah melindungi Maryam putri Imran dan bayi yang akan dilahirkannya.” 259“Aku tidak peduli dengan apa yang ingin kamu lakukan. Tahukah kamu kalau tadi ribuan anak panah tiba-tiba dihunjamkan ke dalam mataku? Tidak hanya itu, aku juga mendengar suara-suara yang sangat aneh. Jeritan anak-anak yang mengatakan jangan sekali-kali engkau mengganggunya!” “Suara yang engkau dengar itu bisa jadi para malaikat atau semut-semut yang menjaga lembah ini. Mereka adalah umat Nabi Sulaiman yang masih ada sampai zaman sekarang. Dan lembah ini berada dalam pengamanan mereka. Tidak pernah ada manusia yang melewati lembah ini dengan berjalan kaki. Kudamu jauh lebih tahu tentang semua ini.” “Siapa sebenarnya dirimu ini? Dari mana asalmu? Bagaimana kamu bisa berkata semua ini?” “Bukankah engkau baru saja bertanya, benarkah ini adalah Lembah Nabi Sulaiman? Ya. Lembah ini adalah tempat semut-semut berucap salam kepadanya. Para malaikat, angin, dan juga jin adalah tentaranya. Mereka semua masih menetap di sini. Karena itulah lembah ini tidak pernah ada dalam peta. Jika yang menjaga lembah ini mengizinkan, mungkin kita bisa menemukan kembali temanmu. Hanya saja, ada satu syaratnya....” “Apa syaratnya? Tunggu, jangan engkau sebutkan. Apa pun syaratnya, aku akan memenuhinya asal bisa menemukan kembali kedua temanku yang hilang di lembah kematian ini.” “Kalau begitu, tutuplah kedua matamu dan ikutilah doa yang akan aku ucapkan. Semoga kita bisa keluar dengan selamat dari lembah ini dan menemukan kedua temanmu. Kemungkinan, mereka sekarang sedang dalam tawanan para tentara Nabi Sulaiman yang tidak kasat mata. Sekarang, 260bersumpahlah untuk tidak akan membuntuti Maryam dan putranya yang akan dilahirkan. Bersumpah pula untuk tidak memberi tahu apa pun tentang ibu dan anak ini kepada Wali Romawi yang telah merencanakan ribuan pembunuhan kepadanya. Paham? Biar sekalian aku ingatkan bahwa tempat ini adalah Lembah Rahasia. Jika engkau tidak menjaga rahasia ini, di mana pun berada para pasukan Nabi Sulaiman akan mendapatkanmu sehingga engkau tidak akan bisa berbuat apa-apa.” Setelah itu, Merzangus mulai membaca doa Ismi Azam. Tertutur oleh kedua bibir Merzangus sembilan puluh sembilan asma Allah dalam satu bacaan doa. Sementara itu, Ismail Alawi dengan khusyuk mendengarkan doa itu sambil berucap amin, amin, amin....’ Setelah selesai berdoa, keduanya mulai memacu kudanya untuk bergegas menyusuri jalan ke arah laut. Saat mentari terbit, keduanya telah sampai di pantai yang membentang di antara Gazza dan Askalan. Tidak hanya itu, mereka juga melihat Urpinasy dan Efridun telah menunggunya di pinggir laut. “Dalam kegelapan malam, kami kehilangan jalan. Akhirnya, tiupan angin memandu kami sampai di tempat ini.” “Angin juga makhluk dan tentara Allah,” kata Merzangus. Untuk beberapa saat, mereka beristirahat di pantai. Saat itulah Merzangus mulai menerangkan sosok Maryam yang sejak kecil telah dikurbankan di jalan Allah. Mereka pun mendengarkannya dengan saksama. Setelah mendengarkan penuturan Merzangus, para ilmuwan astronomi itu yakin bahwa mereka akan ditangkap dan dipaksa menunjukkan keberadaan Maryam bersama 261dengan putranya jika kembali ke al-Quds. Mereka akhirnya sepakat untuk kembali dengan naik kapal dari Gazza menuju Pelabuhan Sayda, kemudian menuju Damaskus. Dengan demikian, mereka tidak akan melewati kota al-Quds beserta daerah di sekitarnya. Dengan cara ini, mereka akan terhindar dari pantauan mata-mata Wali Romawi. Mereka pun berpisah dengan Merzangus. Mereka menitipkan hadiah untuk Isa berupa emas, tanaman murrusafi, dan tumbuhan sejenis tembakau kering. Setelah itu, mereka memacu kudanya menuju Pelabuhan Gazza. Dalam perjalanan pulang, Merzangus tidak lagi melewati Lembah Naml. Ia lebih memilih jalur utara menembus kota Hebron. Orang-orang Yahudi menyebut Nabi Ibrahim dengan nama Hebron. Merzangus pun berziarah ke makam Nabi Ibrahim, Nabi Ishak, dan Nabi Yakub. Sebelum berkunjung ke makam para nabi ini, Merzangus terlebih dahulu mengambil air wudu dan menyelipkan pedang Ridwan di pelana kuda. Sewaktu hidup, Zahter selalu berpesan agar tidak mengunjungi para alim dan nabi, baik yang masih hidup maupun yang sudah wafat, dengan membawa pedang. Demikianlah ajaran sang kakek dalam memberi pendidikan mengenai tata krama. Dengan khusyuk, Merzangus berdoa untuk para nabi, istri-istri mereka, dan keluarganya yang dimakamkan di sampingnya. Setelah selesai berdoa, begitu melompat ke punggung Suwat, Merzangus teringat masa kecilnya. Sejak kecil, Zahter telah mendidiknya menjadi seorang yang mahir menggunakan pedang. Suatu hari, saat belajar teknik pedang, Merzangus terjatuh tanpa mampu melawannya. Dengan ujung pedang yang ditudingkan ke lehernya, Zahter berkata, “Jangan sekali- kali engkau mengunjungi para nabi dengan pedang terhunus.” 262Saat itulah Merzangus melakukan gerakan cepat sehingga ia mampu bangkit dan Zahter pun dapat dijatuhkan dalam posisi seperti dirinya sebelumnya. “Baiklah,” kata Zahter. “Aku memberimu izin. Mungkin, suatu hari engkau akan mengangkat pedang untuk mengabdi kepada seorang nabi.” Saat Nabi Isa dilahirkan, pedang Merzangus telah terhunus untuk mengabdi kepadanya. Doa sang kakek yang juga gurunya telah menjadi kenyataan. Dengan kencang Merzangus memacu kudanya sembari menyapu pandangan ke arah Betlehem. “Terhunus sudah pedang Ridwan ini, entah kepada siapa ia akan senantiasa mengabdi?” Waktu telah banyak dilewatkan. Saatnya untuk segera menemukan Maryam. Namun, saat kembali, semua orang ternyata sudah pergi. Bahkan, Nabi Zakaria dan Yusuf sang tukang kayu pun sama sekali tidak mengetahui keberadaan Maryam. Merzangus semakin dirundung rasa gundah. Ia khawatir terjadi sesuatu pada Maryam. “Aku harus segera dapat menemukannya. Tidak mungkin diri ini rela membiarkannya sendiri dalam keadaan sepedih itu,” kata Merzangus seraya melompat ke punggung kudanya tanpa menghiraukan apa yang dikatakan sahabatnya yang lain. Selama empat puluh hari Merzangus memacu kudanya melewati gurun pasir. Dia mencari keberadaan Maryam dari satu perkampungan ke perkampungan lain dengan mendaki gunung dan bukit serta menyeberangi lembah dan perkampungan. 263Tidak tersisa lagi tempat di sepanjang Laut Mati sampai Danau Jalilah yang tidak ia cari. Meski demikian, tidak ditemukan tanda-tanda keberadaan Maryam dan putranya. Tidak hanya berhenti di situ, Merzangus juga melanjutkan pencarian dari Gurbara sampai timur Jabali Guruz. Di setiap perkampungan badui, kepada setiap karavan yang lewat, Merzangus bertanya tentang sosok Maryam. Seolah-olah ada rahasia Ilahi yang membuat jejak Maryam sama sekali tidak diketahui. Orang-orang badui di selatan padang pasir Tabariyah adalah penduduk yang bertugas menghapus jejak para karavan setelah kepergian mereka di waktu malam. Merzangus juga telah bertanya kepada mereka. Namun, begitu mereka mengatakan tidak ada jejak kaki seorang pun yang berjalan sendirian, Merzangus langsung memutuskan meninggalkan pencariannya di sebelah utara dan berbalik ke arah al-Quds. Keputusan ini dilakukan tepat setelah mencapai empat puluh hari semenjak Maryam keluar dari mihrab untuk melahirkan putranya. Empat puluh hari sudah Merzangus mencari dan terus mencari. Namun, tidak ada tanda yang menunjukkan keberadaan Maryam. Kini, ia pun harus kembali.... -o0o- 26431. Marym Bernaar Maryam terlihat begitu lapang setelah melahirkan bayinya dengan ketenangan yang telah diturunkan Allah. Tubuhnya pun terasa lebih kuat. Segera ia kumpulkan biji buah kurma untuk dimakan dan mengumpulkan air segar dari anak sungai yang mengalir di bawahnya untuk diminum. Ia juga segera menyusui bayinya saat air susunya mengalir. Setidaknya, Maryam sudah mengerti keadaan dirinya dan sang bayi yang terlahir tanpa seorang ayah. Masyarakat pasti mendakwa dirinya dengan kejam. Dan ini berarti akhir bagi kehidupan seorang wanita. Padahal, apa yang menimpanya semata-mata datang dari sisi Allah sebagai ujian. Sama sekali tidak ada kesalahan yang telah diperbuat Maryam. Ia bukan seperti yang dituduh kebanyakan orang. Apa yang dilakukannya, apa yang bisa dilakukan seorang Maryam dalam keadaan seperti ini? 265Begitulah, Maryam akan diam saja. Diam seribu kata sebagaimana yang diperintahkan kepadanya. Memang, setiap kata dan pembelaan tidak akan mengurangi tuduhan orang kepadanya. Selain itu, kejadian di luar kebiasaan umum yang dialaminya sangat adil jika diserahkan pada persidangan di dalam hatinya sendiri. “Aku mengadukan semua kejadian ini kepada Allah. Hanya Allah yang mungkin bisa mengampuni diriku,” ujar Maryam pada dirinya sendiri. Semua kejadian yang menimpanya memang datang dari sisi Allah. Dan hanya Allah pula yang akan mampu membelanya dengan cara paling baik. Sungguh, kata-kata bagi Maryam sedang dalam berada di bagian penghujung. Tidak satu pun pembelaan akan mampu menjadikan dirinya suci. Dan memang, dia adalah seorang yang suci sehingga bagaimana harus disucikan kembali? Dialah merupakan sosok yang “putih”, lalu bagaimana akan diperputih? Bagaimana kemaksuman akan membelanya? Jadi, biarlah mereka yang ingin menodai kemaksumannya berbicara semaunya hingga habis semua kata-kata. Biarlah Maryam tidak bicara. Biarlah ia diam seribu bahasa. Biarlah ia diam seribu kata. Sebab, “kata-katanya” telah berada dalam gendongannya. 266Apalagi, Maryam sudah mencurahkan semuanya. Ia luapkan hingga tak tersisa apa-apa, Selain Ruhullah yang ada dalam buaiannya... Dialah sang “Kalamullah” yang menjadi dalilnya. Sang dalil yang julukannya adalah Isa putra Maryam. Dialah kini yang akan mengatakan “kata-kata yang paling baik”. Paling baik bagi ibundanya dan juga bagi umat manusia. -o0o- 26732. Marym embai ke al-Quds Setelah selesai masa nifas empat puluh hari, ibunda Maryam segera bersuci, mandi, dan kemudian memotong kain yang telah dicucinya untuk membungkus sang bayi. Setelah itu, Maryam segera melangkahkan kaki... Selesai sudah masa empat puluh harinya... Saat melewati perkebunan zaitun, setiap orang yang mengenalnya selalu mengikuti untuk bertanya-tanya tentang bayi yang ada di gendongannya. Belum lagi pertanyaan lain soal mengapa dirinya keluar dari masjid dan benarkah gunjingan yang selama ini ramai dibicarakan tentang dirinya. Setiap Maryam dengan keputusannya. Ia sama sekali tidak menjawab semua pertanyaan orang-orang itu. Maryam diam seribu kata. Semakin diam, semakin orang-orang merasakan keteguhan Maryam untuk menjaga jarak dari mereka. Semakin diam, semakin teguh Maryam melangkahkan kakinya. Melangkah dengan menggendong putranya yang suci lagi mulia menuju Masjidil Aqsa. 268Pada saat itulah, di tengah perjalanan, ada beberapa orang dari kerabatnya yang menghampiri dan berkata, “Ah, Maryam! Sungguh, engkau telah berbuat hina!” Akhirnya ia menggendong bayinya untuk dibawa ke depan kaumnya. Mereka berkata, “Wahai Maryam, engkau sungguh telah berbuat hal yang hina! Wahai putri saudara perempuan Harun! Sungguh, ayahmu bukan seorang yang buruk, begitu pula ibumu! Kerabat dan tetangga terdekat juga kaget melihat Maryam sedang menggendong seorang bayi. Benarkah dia seorang Maryam yang selama ini mereka kenal sangat mulia? Terlebih- lebih dengan menggendong bayi, tanpa malu, dan melangkah di depan kerumunan masyarakat? Mosye, yang memang sejak awal telah memusuhi keluarga Maryam, memanfaatkan kesempatan itu untuk berteriak sekeras-kerasnya di depan kerumunan orang. “Dengan muka apa engkau berani-beraninya kembali ke masjid? Sungguh, engkau telah mengotori rumah suci ini! Siapa pun yang menjadi ayah dari anak itu, pergilah kamu ke rumahnya! Jangan sekali-kali berani datang ke masjid ini lagi!” Mendengar provokasi Mosye, semua orang jadi marah. Sebagian melempari Maryam dengan batu atau kayu. Sebagian lagi ada yang memukulinya sambil berkata-kata kotor kepadanya. Bahkan, anak-anak kecil pun ikut menyebar duri dan meludahi Maryam di sepanjang jalan. Sungguh, sebuah kejadian yang amat memilukan. Meski demikian kejam, Maryam tetap tidak menjawab sepatah kata pun. Ia hanya berusaha melindungi bayi yang ada di gendongannya sambil terus berjalan dengan penuh 269keyakinan. Keteguhan Maryam semakin membuat semua orang tercengang. Tak ada seorang pun yang mendekatinya. Maryam terus berjalan menuju masjid dengan langkah yang teguh bagaikan kapal yang telah diterpa ombak besar. Semua orang lalu berkumpul di alun-alun. Para pemimpin pesantren di Baitul Maqdis pun ikut datang. Mereka terpaku di atas tangga masuk sambil memandang kerumunan orang yang terus berdatangan memadati alun-alun masjid. Salah satu dari para pemimpin madrasah tersebut tidak lain adalah Nabi Zakaria. Begitu melihat Maryam, hatinya langsung seraya terkoyak. Sambil menuruni tangga, ia berteriak, “Maryam... anakku..!” Namun, Maryam tetap diam hingga tiba di tangga gerbang masuk. Dengan jari tangannya, Maryam memberi isyarat kepada orang-orang yang berkuruman untuk memerhatikan bayinya. Hal tersebut justru membuat orang-orang yang membencinya semakin ingin meluapkan kemarahan. “Jadi, dia ingin agar kita bicara dengan bayinya? Sungguh, ini adalah penghinaan bagi kita sehina perbuatan dosanya!” demikian kata mereka. Suara orang-orang mulai bergemuruh, berteriak-teriak. “....apa maksudnya ini? Bagaimana mungkin kita bisa berbicara dengan seorang bayi?” Mosye dan para pendukungnya makin meradang. “Coba perhatikan, wanita hina ini meminta kita berbicara dengan seorang bayi. Apakah dirinya ahli sihir? Bagaimana mungkin seorang bayi bisa bicara. Apakah ia akan bercerita tentang perbuatan dosa yang telah dilakukan ibunya?” 270Semua orang tertawa, mencaci-maki dengan kata-kata kotor. Dalam waktu yang sama, Merzangus datang menaiki kuda yang dipacu dengan kencang, sementara Yusuf berlari terengah-rengah dari tempat kerjanya sebagai tukang kayu. Tidak ketinggalan, al-Isya juga ikut berlari menerjang kerumunan orang bersama bayinya yang bernama Yahya. Dengan menangis tersedu-sedu, al-Isya berteriak kepada kerumunan orang-orang itu. “Jangan kalian sakiti dia. Semua ini datangnya dari Allah!” Namun, kata-kata itu tidak bisa menenangkan mereka. Bahkan, al-Isya juga mendapatkan pukulan dari orang-orang yang memang sejak awal berniat jahat. Begitulah, semuanya terjadi seketika pada saat itu. Mulailah sang bayi yang ada dalam gendongan Maryam berbicara. Sebab, ia adalah “Kalamullah”. “Diriku adalah hamba Allah. Ia telah memberiku Alkitab. Dan Ia telah mengutusku menjadi seorang nabi. Di mana pun aku berada, Ia akan memuliakanku. Ia telah memerintahkan kepadaku untuk mendirikan salat dan zakat sepanjang hidupku. Ia telah membuatku menghormati ibuku dan tidak membuatku menjadi seorang yang malang. Salam dan keselamatan terucap bagiku saat kelahiranku, sepanjang hidupku, dan saat diriku hendak dimasukkan ke dalam liang kubur.” -o0o- 27133. Ksah Tiga Bayi yng Mmpu Bicara Merzangus termenung. Ia membuka kembali catatan lama tentang tiga bayi yang dapat berbicara saat dirinya melakukan perjalanan panjang. Sungguh, kisah itu seperti sebuah ibarat yang begitu mulia. Merzangus pun tertegun merenunginya. Kisah itu kembali membuka cakrawalanya seperti sebuah jalan setapak yang mengantarkannyakejalan yang Merzangus benar-benar mampu memahami hakikat dan hikmah dari kisah itu. Pemikirannya begitu terang terbuka bagaikan bintang yang memberi isyarat dan pertanda baginya. Seolah kisah-kisah yang selalu ia dengarkan dari penuturan Zahter di sepanjang perjalanan telah menjadi guru di sepanjang usia kecilnya. Seperti kuliah di sepanjang perjalanan padang pasir. Sebuah kisah yang selalu melekat dalam ingatannya. Kisah penuh hikmah tentang tiga bayi yang bisa berbicara. 272Putra Maryam juga seorang bayi yang bisa berbicara, bahkan ketika masih dalam buaian bundanya. Kemudian, Merzangus teringat kisah lainnya. Salah satunya adalah Jurayj dari Bani Israil. Ia adalah seorang yang hanif, ahli salat, zakat, dan juga seorang mukmin yang sempurna. Suatu hari, saat dirinya sedang salat, ibunya memanggilnya sebanyak tiga kali. Saat itu, Jurayj tidak membatalkan salatnya. Setelah selesai, ia segera akan menunaikan apa yang diinginkan ibunya. Rupanya, sang ibu adalah sosok pemarah. Ia tidak sabar dan akhirnya berdoa jelek untuk sang anaknya. “Duhai Allah! Jangan cabut nyawa Jurayj sampai Engkau mengujinya dengan wanita!” Akhirnya, Jurayj mendapati ujian dengan seorang wanita saat ia menyendiri beribadah di salah satu tempat di kampungnya. Wanita tersebut tertarik oleh Jurayj yang memang masih muda dan tampan. Jurayj dapat membuatnya pergi dengan kebaikan akhlaknya. Namun, wanita itu masih terus menggodanya sampai akhirnya berbuat hina dengan seorang penggembala hingga mengandung seorang bayi. Wanita itu akhirnya memitnah Jurayj. Jurayj sama sekali tak tahu-menahu dengan semua kejadian ini. Ia masih khusyuk beribadah di dalam gubuk di pinggir kampungnya. Meski demikian, warga sudah telanjur marah karena isu yang diembuskan wanita itu. Mereka pun naik pitam dan beramai-ramai mendatangi Jurayj. Bahkan, 273gubuk tempat Jurayj beribadah dirobohkan. Tak sampai di situ, Jurayj pun sempat dipukuli. Jurayj lalu mengajak warga mendatangi tempat bayi wanita itu berada. Sesampai di sana, Jurayj bertanya kepada sang bayi, “Siapa bapak kamu?” Anehnya, sang bayi dapat menjawab pertanyaan itu dengan berkata, “Penggembala.” Karena sang bayi tiba-tiba dapat berbicara, warga pun kaget. Mereka akhirnya meminta maaf kepada Jurayj. Bahkan, mereka juga membangun kembali gubuk tempat beribadah yang telah dirusak sebelumnya. Kisah bayi berbicara lain juga berasal dari Bani Israil. Sang bayi dapat berbicara dengan ibundanya. Seorang wanita Bani Israil sedang menyusui bayinya berdoa ketika melihat seorang kesatria penunggang kuda lewat di depannya. “Ya Tuhan, jadikanlah bayiku ini seperti dia!” Mendengar doa sang bunda, bayi itu tiba-tiba dapat berbicara dengan berkata, “Ya Rabbi, jangan Engkau jadikan diriku sepertinya!” Beberapa saat kemudian, lewat seorang pembantu bersama putranya yang selalu dipandang hina masyarakat. Sang ibu bayi pun berdoa kembali. “Duhai Allah, janganlah Engkau jadikan anakku hina seperti wanita itu!” Mendengar doa itu, sang bayi pun kembali dapat berbicara, “Duhai Allah, jadikanlah diriku seperti dirinya!” 274Sang ibu kembali kaget. Akhirnya, ia bertanya kepada bayinya. Sang bayi pun menjawab, “Duhai Ibundaku! Kesatria itu adalah seorang yang zalim lagi sombong, sementera wanita pembantu itu adalah seorang yang maksum. Semua orang menyalahkan dirinya, padahal ia adalah seorang yang maksum lagi suci. Aku lebih memilih menjadi orang seperti wanita itu daripada menjadi seorang yang sombong dan zalim.” -o0o- 27534. Sift-Sift Isa  Dia adalah Kalamullah... Kelahirannya terjadi atas perintah Allah. Kun, jadi, maka jadilah... Dialah penjelas, pengingat, dan penanda mukjizat penciptaan-Nya... Ketika segala sesuatu tiada, Dialah Yang Mahaada. “Keberadaan” adalah Diri-Nya yang senantiasa ada di sepanjang masa... Saat Dia dalam kekayaan yang tersembunyi, Dia pun menginginkan untuk dikuak. Bertitahlah “jadi”, maka “jadilah”. Titah ini pula yang dicipta-Nya dalam penciptaan pertama. Titah yang pertama kali dicipta, dititahkan, dan yang pertama kali pula mengarungi perjalanan... Kalamullah. Laksana awal dari putaran jarum jam, seperti angka garis pertama dalam mistar, bagaikan batu pertama dalam fondasi suatu bangunan. Demikian pula saat bangunan alam ini disusun untuk kali pertama, saat matematika dipetakkan sangat awal, saat bangunan kehidupan pertama kali ditegakkan, ketika jagat raya pertama kali ditinggikan, saat kejadian pertama kali muncul, yang ada tidak lain adalah titah “KUN”. 276“Kun” seperti sel pertama, sidik jari. Ia adalah rahasia yang menggenggam segala cipta. Dan kalam, adalah penggenggam rahasia bagi pengucapnya... Kalam, adalah pejalan yang mengayunkan kakinya dari jiwa yang terdalam. Kalam, adalah serpihan yang tercerai dari kesatuan. Kalam, adalah perpisahan; terjadinya luka. Kalam, adalah perantauan. Kalam, adalah nama jalan, perjalanan, dan juga pejalannya. Kalam, adalah jejak penanda. Kalam, adalah milik Allah; titah-Nya. Kalam, adalah utusan. Kalam, adalah nama lain dari Nabi Isa; puji dan syukur semoga terpanjat untuk Zat yang telah menitahkannya. Dan kalam, adalah al-Masih... Dengan seizin Allah, seorang buta bisa menjadi sembuh setelah diusap al-Masih. Al-Masih adalah berarti seorang yang tidak bisa berdiam diri di suatu tempat, yang selalu bergerak, bermigrasi. Seorang yang di waktu pagi ada di sebuah tempat, di malam hari sudah berada di tempat lain. Itu juga nama minyak wangi yang diusapkan pada kepala raja bangsa Yahudi untuk menyucikannya sehingga sang raja pun dimuliakan.... Al-Masih, adalah hamba mulia dan suci. Al-Masih, seorang yang menggenggam as-syifa di tangannya. Al-Masih, seorang yang diberi ucapan selamat, dan juga yang memberi ucapan selamat... 277Al-Masih, seorang yang mengulurkan tangannya, yang menolong, menuntun. Al-Masih, seorang yang menerima dengan lapang dada; yang memberi salam keselamatan, kabar gembira... Al-Masih, adalah medali. Pangkat, piagam pengukuhan, ijazah kemampuan... Al-Masih, adalah Isa . Dan Nabi Isa adalah lencana kehormatan yang disematkan di dada umat manusia... -o0o- Ia adalah al-wajih… Isa, seorang yang mulia. Terhormat, menduduki tempat yang tinggi. Sosok yang diterima, dihormati, dan dicintai setiap orang. Yang didengar kata-katanya begitu memulai bicara di muka umum. Kata-katanya lembut, meyakinkan, dan jauh dari keraguan. Yang tidak pernah muram, selalu tersenyum dalam berzikir. Bahkan, saat masih berada di dalam kandungan sang ibu, ia senantiasa bertasbih, berbicara dengan sang bunda. Dikisahkan, semasa dalam kandungan, ia telah menghafal Taurat. Kemudian, kitab Injil diturunkan kepadanya. Hikmah. Seorang yang memberi kabar gembira mengenai kedatangan nabi terakhir bernama “Ahmad”. Seorang rasul mulia, baik di dunia dan akhirat. Dia adalah al-Mukarrib... 278Isa , seorang yang dekat dengan Allah. Allah pun dekat dengannya. Hamba yang juga mengajak umatnya mendekatkan diri kepada-Nya. Utusan yang telah mewakafkan dirinya di jalan Allah, untuk menjembatani umatnya dalam mendekatkan diri kepada-Nya. -o0o- Demikianlah, seorang bayi yang dapat bertutur kata mengenai kebenaran telah membuat hati sekerumunan orang tercengang. Mosye pun syok berat. Lidahnya kaku terjulur. Tubuhnya kejang sampai jatuh berguling-guling. Dari mulutnya keluar busa dan teriakan keras, “Tidak...! Tidak mungkin...!” Namun, apa yang terjadi telah benar-benar terjadi. Jika Allah menghendaki, pasti akan terjadi. Sementara itu, Nabi Zakaria tiada berhenti berucap puji dan syukur ke hadirat Allah atas apa yang telah disaksikannya. Demikian pula dengan Yusuf. Ia segera bersujud syukur di tempat itu juga. Sang bibi, al-Isya, baru saat itu berkesempatan bersua dengan kemenakannya. Bajunya sampai robek saat berdesakan menerobos kerumunan orang. Saat itulah dua bayi, Yahya dan Isa, dapat bertatap muka untuk kali pertama. Yahya berucap salam kepada Isa seperti saat masih berada dalam kandungan... Isa  senyum gembira mendapati 279temannya sesama bayi, seolah-olah bukan dirinya yang baru saja berbicara. “Tolong berikan jalan... berikan jalan! Salam dan keselamatan semoga tercurah untuk Isa ibnu Maryam! Dialah sang Kalamullah, al-Masih, semoga salam terucap untuknya! Berikan jalan wahai penduduk al-Quds yang kini telah mendapati limpahan nikmat agung!” Seorang yang berteriak-teriak demikian tidak lain adalah Merzangus. Seorang pahlawan yang tidak pernah turun dari kudanya sepanjang empat puluh hari masa nifas Maryam. Masa-masa sulit yang ia namai dengan “hari-hari arbain”. Selama masa itu, ia hanya memakan beberapa pucuk daun pakis untuk sekadar dapat tegak berdiri. Sama seperti Ibunda Maryam yang hanya memakan buah kurma dan meminum air dari sumber mata air. Bersama-sama mereka menuju rumah Nabi Zakaria... Ungkapan “air bisa saja tidur, namun musuh tidak mungkin” terbukti. Para ahli khianat rupanya ingin segera melupakan kekalahannya di waktu siang. Dengan mata hati yang telah tertutup dari hakikat kebenaran, mereka mengingkari apa yang telah disaksikan. Mereka terus mencari cara untuk segera keluar dari kekalahan. Mereka pun segera mengirimkan berita kepada Heredos. Bagi Roma, kemunculan seorang nabi dari kalangan Bani Israil adalah sebuah petaka. Seolah-olah belum cukup dengan kehadiran Nabi Yahya dan Zakaria, sehingga diutus lagi seorang Isa putra Maryam. 280Api pergolakan telah disulut di seantero Syam dan al-Quds. Penguasa Romawi benar-benar sudah tidak tahan dengan tiga orang nabi yang datang dari keluarga yang sama. Para pemuka Yahudi yang telah dirasuki sikap khianat, seperti Mosye, semakin khawatir dengan status mereka sebagai pemuka agama. Mereka pun melakukan berbagai cara agar dapat menjalin kerja sama dengan pemerintah Romawi untuk melenyapkan keluarga Imran dan Zakaria. Malam pun tiba dan rencana pembunuhan siap digelar. Kaum munaik mendirikan tenda-tenda di perbukitan zaitun. Bagaimana mungkin para rahib agama Yahudi telah berbalik mendukung orang-orang Romawi yang menyembah berhala? Mungkin, inilah akibat kecintaan orang terhadap kedudukan dan pangkat... Acara makan malam telah selesai dilakukan. Kemelut api itnah pun semakin cepat menyebar. Kali ini, Nabi Zakaria yang jadi sasaran. Semua orang mengatakan bahwa Nabi Zakaria adalah satu-satunya orang yang mungkin melakukan perbuatan nista dengan kemenakannya, Maryam. Kian hari, api itnah yang paling busuk ini telah menjalar dengan cepat di tengah-tengah masyarakat. Dengan tuduhan inilah para kaum durjana itu telah mengobarkan kemarahan warga untuk beramai-ramai membunuh Nabi Zakaria. Setelah itu, Maryam dan juga putranya. Terlebih, sesuai adat, rajam menjadi hukumannya. Menurut syariat agama Yahudi, dosa berbuat zina adalah harus dibunuh dengan dilempari batu. Nah, setelah Nabi Zakaria tewas, tentu jauh lebih mudah melenyapkan seorang ibu beserta anaknya. Inilah rencana mereka. Rencana yang membuat hati para pengkhianat senang bukan kepalang, luap dalam pesta-pesta minuman keras bersama dengan orang-orang busuk lainnya. 281Mosye bersama dengan para pengikutnya berkata, “Apa yang mereka katakan tidak mampu menembus daun telinga; dan tidak akan mungkin memengaruhi dan mengubah pendirian kami.” -o0o- Selang beberapa lama, dua prajurit Roma yang menjaga tenda penasaran dengan nyala lentera yang mereka lihat dari kejauhan di lereng sebuah bukit kebun zaitun. Mereka pun segera berjalan menuju ke arah nyala cahaya lentera itu. Akhirnya, mereka menemukan tempat Ham, Sam, dan Yafes melakukan uzlah atau mengasingkan diri. Saat melihat para darwis itu sedang beribadah, mereka pun beristirahat sebentar untuk mengabil napas. Di sela-sela pembicaraan terdengar percakapan mereka yang menyebut-nyebut Nabi Zakaria . “Hari esok adalah hari yang paling susah bagi orang tua itu.” Mendengar percakapan tersebut, sesaat setelah para prajurit itu pergi, Ham segera memacu kudanya untuk pergi menuju rumah Zakaria . Rumah Zakaria  rupanya telah dipenuhi orang-orang Mukmin. Tenang hati Ham saat melihat Merzangus sedang berdiri tegak di depan pintu dengan memegang sebilah pedang. Pada salah satu ruangan, Zakaria  dan tukang kayu Yusuf sedang berdiskusi. Yusuf sependapat dengan usulan agar Maryam harus segera keluar dari al-Quds demi keselamatan dirinya dan sang bayi. Sementara itu, Zakaria  akan tetap bersabar membimbing umat. 282Kini, yang menjadi pertanyaan, ke mana Maryam dan putranya harus dibawa pergi? Di manakah tempat yang paling aman untuk mereka? Saat mereka sedang membicarakan semua ini, tiba-tiba kuda Merzangus yang bernama Suwat mengamuk seraya menendang pintu masuk pekarangan. Saat orang-orang ingin mengetahui apa yang telah terjadi, si kuda memberikan isyarat ke sebuah arah dengan kepalanya. Tidak lama kemudian, orang-orang pun memahami apa yang dimaksud si kuda. “Ini adalah kuda peninggalan Siraj!” kata Merzangus. Merzangus juga mengingatkan, sebelum meninggalkan al- Quds, Siraj pernah berkata kalau kuda itu akan menemukan tempat dirinya berada. Kini, Siraj telah berada di Mesir. Merzangus pun menoleh ke arah Ham, Syam, dan Yusuf. “Kita bawa Maryam dan putranya ke Mesir!” Waktu sudah menipis. Mereka harus segera pergi, bahkan tanpa ada waktu untuk menyiapkan perbekalan. Agar aman dan tidak menarik perhatian, Merzangus dan Ham akan berjalan lebih dahulu, kira-kira satu kilo meter di depan. Di belakang, Yusuf akan mengawal Maryam dan sang putra yang dimasukkan dalam keranda yang ditarik seekor keledai. Dalam keadaan yang begitu terburu-buru, Yusuf bahkan tidak sempat mengenakan terompahnya, sementara Maryam mendekap erat sang putra yang tidak sempat ia kenakan baju. -o0o- 283284AIN 28535. ijrah ke Msr Adakah seorang nabi yang tidak diasingkan dari bangsa dan negerinya? Namun, hanya Nabi Isa yang diasingkan begitu lahir ke dunia. Begitulah, perjalanan hijrah telah tertulis sejak masa buaian. Mesir adalah tempat tujuannya. Sebuah tempat yang penuh menyimpan rahasia. Tempat berlindung sekaligus penjara bagi sebagian nabi. Ia telah menjadi tempat bertakhta bagi seorang nabi seperti Yusuf , tapi juga telah menjadi tempat saat membangun benteng bagi Musa . Mesir telah seakan-akan menjadi bentangan takdir bagi para nabi, laksana bentangan Sungai Nil dari hulu hingga ke hilir. Bagi Isa , Mesir adalah tempat berlindung, tempat bertamu, dan melewatkan masa kecil hingga dewasa. Beberapa abad kemudian, orang-orang akan saling bicara bahwa tempat yang diberi isyarat dengan nama “rabwa” tidak lain adalah Mesir itu sendiri. 286“Kami telah menjadikan Maryam dan putranya sebagai tanda kekuasaan kami. Kami telah berikan kepadanya tempat yang tinggi, tenang, kokoh, dan dilewati dengan sumber air.” al-Mukmin [40] 50 -o0o- Bersama dengan Yusuf, teman seperjuangannya, Maryam menyusuri jalan agar dapat sampai ke Mesir. Maryam dan bayinya menyelinap di balik keranda sempit yang terbuat dari anyaman bambu. Keras dan tajam papan bambu lama- kelamaan akan melukai tubuh bayi dan ibundanya yang tidak beralaskan apa-apa. Sampai-sampai Yusuf pun tidak tega saat kulit bambu telah membuat luka hingga bercak darah ada di mana-mana. Yusuf pun langsung melepaskan baju hangat yang menjadi satu-satunya harta dunia yang dimilikinya. Hanya baju itulah yang dapat mereka gunakan untuk berselimut. Satu-satunya harta di dunia adalah baju hangat itu. Namun, Yusuf telah merelakannya dengan sepenuh hati. Bahkan, ia sebenarnya telah memberikan jiwanya... Tak berselimut Maryam dan putranya. Saat itulah Yusuf telah menjadi cermin bagi manusia; cermin untuk berkorban demi cintanya. Cermin yang begitu jernih. Tanpa kotoran, tanpa goresan. Hanya pancaran cahaya cerah yang memantul darinya. Tanpa sedikit pun bercak. 287Tanpa sedikit pun penghalang. Tanpa sedikit pun kesamaran. Cermin untuk menunjukkan kedekatannya kepada sang Rabbi. Yang tak berpenghalang dengan sehelai selimut pun di dunia. Yang menyelinap bagaikan lesatan anak panah dari penghalang dunia. Yang menunjukkan kedudukan kedekatannya kepada yang mencipta. Yang membuat para malaikat pun iri kepadanya; Dialah Yusuf, yang menyusuri padang pasir tanpa alas kaki, tanpa baju yang menutupi punggungnya... -o0o- Saat itu, Maryam mencari sesuatu untuk dijadikan sebagai alat memintal. Kemahiran dasar yang dimiliki oleh para ibu bangsa Palestina. Mulailah Maryam mengurai benangnya. “Risyte-i Maryam”, demikian bait-bait puisi akan menamakan baju yang dipintalnya. Demikianlah yang disampaikan Hakani dari Yawsi dalam catatannya “Telah dikisahkan dalam sebuah riwayat bahwa begitu lembut kain yang dipintal Maryam. Jika tidak dilipat dua, ia masih licin dipegang.” 288Begitu lembut Risyte-i Maryam menutupi tubuh Isa yang masih bayi. Sedemikian lembut ia sehingga orang-orang yang melihatnya akan menyebutnya sebagai “kain pintal malaikat”. Itulah baju Isa yang dipintal ibundanya. Risyte-i Maryam tak lain adalah arti kesabaran. Risyte-i Maryam menyimpan erat rahasia kepedihan yang tidak pernah dirasakan orang. Risyte-i Maryam adalah berbuka puasanya sang ibunda dari tidak berbicara. Semakin berpuasa dari bicara, semakin lembut kain hasil pintalannya... Kain selembut itulah yang terpintal dalam perjalanan takdir Isa al-Masih... Begitulah perjuangan seorang ibunda untuk dapat menyelimuti bayinya, sampai kemudian memakaikannya dengan kancing peniti alakadarnya... Itulah “Suzen-i al-Masih”. Demikian orang menyebut hadiah yang telah diberikan kepada Isa ibnu Maryam... Kenangan yang membuat para malaikat di langit keempat saling bertanya “Tidakkah engkau tahu bahwa tidak diperkenankan memasuki surga dengan harta dunia, wahai Isa?” Isa  pun menjawabnya “Suzen ini adalah kenangan dari ibuku, Kenangan yang mengangkatku dari bumi ke langit... Yang dipintal ibundaku yang bernapaskan Ruh Suci.” Terpana para malaikat mendengarkan jawaban sang al- Masih. Sejak saat itulah Suzen-i Isa terkenang di alam langit. 289Sampai berabad-abad kemudian, saat terjadi peristiwa Karbala, Suzen itu pula yang selalu menangis pada peristiwa yang dialami oleh Husein. Saat para kesatria Karbala dipenggal kepalanya, Saat itulah Suzeni Isa dirobek-robek, tercerai-berai menyebar ke angkasa Hingga tiap serpihannya menancap ke dalam hati para darwis cinta. -o0o- Para prajurit raja dan pendukung Mosye rupanya ikut mengejar mereka ke Mesir. Benar, jika seseorang telah berkata bahwa “hati seseorang yang mencintai demi Allah tidak akan tertidur”. Demikian pula hati Merzangus dan juga Ham yang selalu beribadah di gubuk di lereng bukit Zaitun... “Kini, saatnya kita membawa bukti rumput egrelti dari Kampung Rempah-Rempah,” kata Ham. Dalam waktu yang bersamaan, kuda yang ditungganginya berbelok arah seraya melesat kencang bagaikan anak panah lepas dari busur untuk mencapai pejalan yang ada di belakangnya... Ham tertegun. Air matanya berlinang saat melihat Yusuf yang menyusuri jalan tanpa alas kaki dan tanpa baju yang menutupi punggungnya. Belum lagi saat menyaksikan keranda tempat Maryam dan putranya telah penuh dengan bercak darah. Segera ia keluarkan rumput egrelti yang dibawanya untuk diulurkan kepada Maryam dalam muka tertunduk pedih. 290“Mohon oleskan tanaman ini pada luka Anda, wahai Tuan Putri! Dengan seizin Allah, semoga tanaman yang kelak akan dikenang dengan nama Buhuru Maryam ini dapat meringankan luka Paduka.” “Masyaallah tabarakallah,” kata Maryam seraya menyisipkan tanaman itu ke dalam buaian Isa. Begitulah, tanaman dan bunga-bungaan yang dibawanya dari Kampung Rempah-Rempah satu per satu akan mendapati tempatnya sebagai dalil. Isa putra Maryam kelak akan bersemayam dalam wewangian yang kelak juga akan menjadi jejak wangi nabi akhir zaman. Dialah seorang yang namanya al-Masih, al- Habib.... Ham kemudian menoleh ke arah sahabat perjuangannya, Yusuf sang tukang kayu. “Ada satu hal yang pernah dikatakan orang Badui padang pasir. Jika engkau mengusapkan tanaman egrelti ini, orang- orang yang menguntit di belakang akan kebingungan mencari jejak kita.” Ham pun segera memacu kudanya untuk kembali menyertai Merzangus memandu perjalanan di depan. Seekor keledai milik Yusuf sang tukang kayulah satu- satunya hewan yang pernah dinaiki Maryam. Ia tidak pernah menaiki unta, tidak pula kuda. Berabad-abad kemudian, seorang sahabat Allah yang bernama Abu Hurairah berkata demikian untuk Maryam. 291 10. eika Marym Baru dalm Bera Usia Hanna lanjut sudah. Masa suburnya telah lewat menurut perhitungan sebagai seorang wanita. “Mungkinkah,” katanya di dalam hati, “mungkinkah takdirku meninggalkan dunia ini tanpa pernah menjadi seorang ibu.” Bukanlah sebuah penentangan apa yang terbesit di dalam lubuk hatinya yang terdalam ini. Ia tahu bahwa Allah Maha Memberi sehingga tidak ada hak bagi hamba untuk mengeluhkan-Nya. Bahkan mengeluhkan dirinya. Namun, seperti itulah keadaan setiap wanita! Mereka cenderung menyalahkan diri sendiri. Cenderung mengait- ngaitkan kejanggalan dalam hidupnya. Mulai dari angin yang tak berembus, hujan yang tak kunjung tiba meski sangat dinanti-nantikan, pintu rumah yang tidak juga diketuk seorang tamu, sampai keadaan yang tidak berjalan sesuai dengan yang diharapkan. Semuanya selalu menjadi alasan untuk mencari kekurangan pada dirinya sendiri. Demikianlah wanita! Mungkinkah dirinya telah menjadi penyebab sehingga tampil untuk merasa bertanggung jawab ketika ada hal-hal yang tak seorang pun mau peduli? 92Dalam penantiannya selama berpuluh-puluh tahun untuk dapat menjadi seorang ibu, Hanna juga selalu menelisik kekurangan dirinya. Mungkinkah ada seekor semut yang tanpa sengaja diinjaknya, mungkinkah ada sehelai daun zaitun yang ia lukai, atau seorang yatim yang tidak ia belai rambut kepalanya? Mungkinkah ada seorang tamu Allah yang mengetuk pintu namun tidak ia bukakan karena tertidur lelap, atau mungkinkah ada sangkar burung yang tanpa tanpa sengaja telah dirusak olehnya? Atau mungkinkah ada aliran sungai yang tanpa sengaja telah menjadi sedikit keruh airnya saat ia mengambilnya? Semua ini selalu ia tuliskan satu demi satu di dalam buku hariannnya. Ia baca ulang semuanya seraya mencari kesalahan yang bersumber dari dirinya. Hanna pun selalu berbicara pada diri sendiri. “Cukup tua sudah diriku,” katanya dalam linangan air mata membasahi kedua pipinya. Ia menyangka telah berakhir sudah masa suburnya. Tertutup sudah kemungkinan untuk dapat melahirkan seorang bayi. Hampir sampai sudah waktu banginya untuk dikubur dan membusuk di dalam tanah. Hanna kembali menyendiri di taman di belakang rumahnya setiap kali merasa sedih. “Wahai sahabatku yang berwarna cantik abu-abu!” katanya. “Wahai sahabatku yang selalu setia menjaga rahasia,” katanya kepada pohon-pohon zaitun di kebunnya. “Orang-orang telah ramai menggujing tentang diriku. Kata-kata mereka sungguh telah membuat sakit hatiku, melukai jiwaku. Ah...!” Jika saja di masa lalu, niscaya tidak akan begitu peduli dengan apa yang mereka gunjingkan. Namun, untuk saat ini sangat berat. Begitu dalam luka yang digoreskan. Hati, jiwa, dan wajah bersih Hanna seolah-olah tercabik-cabik. 93“Mereka memitnah diriku dengan tuduhan wanita mandul terlaknat.” Wajahnya mengarah ke genangan air, mencari tanda, noda, dan guratan pada di sana. “Menjadi seorang wanita yang dilaknat Tuhan.” Sungguh betapa pedih dakwaan itu bagi seorang wanita... Gemetar ia merenungi. Menunduk. Berkaca ke atas air. Mencari pertanda pada wajahnya. Sesaat terlintas sang suami dalam pikirannya. Kembali ia tertunduk. Imran, seorang alim agung keturunan Harun . Seorang ahli kitab, haiz, pembimbing masyarakat. Ia merasa dirinya sebagai seorang istri yang telah dilaknat Tuhan, seorang yang telah diusir dari tempat ibadah dengan tuduhan laknat mandul.... Begitu pedih Hanna meratapi keadaannya. Sementara itu, setan seolah-olah telah siap mencari mangsa; siap berbisik dengan lidah ularnya. Mengembuskan desas-desus. “Engkau adalah seorang mandul. Seorang terlaknat....” Setan terus berbisik... dan berbisik.. Saat api desas-desus begitu berkobar dari mulut setan, saat Hanna hampir saja terbuai oleh bisikannya, terdengarlah suara Imran membuyarkan buaian setan. “Hidup adalah sebuah ujian. Tuhan kita akan menguji kita dengan berbagai macam kepedihan, kepapaan. Bukankah selalu berzikir menyebut Ya Wakil’ adalah yang terbaik bagi kita?” 94Kembali Hanna menarik dirinya dari tertunduk di bibir sumur. Al-Quds. ah, al-Quds.... Engkau tidak lagi seindah dulu. Bahkan, penghulu alim Baitul Maqdis pun seolah telah berganti. Baru saja seminggu berlalu dari perbincangan di antara Imran dan Nabi Zakaria mengenai “kemandulan”, keduanya telah menuai cercaan yang bukan-bukan. Hal ini berawal dari watak alim muda bernama Mosye yang selalu terbelenggu jiwa serakahnya untuk menjadi pemimpin para ulama. Memang, sejak kecil Hanna telah mengenal Mosye. Saat pertama kali belajar di rumah Imran. Tidak segan-segan Mosye melahap apa saja dalam jamuan makan yang dihidangkan Hanna. Dengan persetujuan Nabi Zakaria pula Mosye dapat diterima di sekolah agama di Baitul Maqdis. Tahun-tahun telah berlalu dan telah membuat seorang Mosye begitu banyak berubah dari masa lalunya, saat ia menghapuskan begitu saja perjuangan dan kebaikan banyak orang kepadanya. Padahal, keturunan Bani Israil telah terkenal dengan kekuatan ingatannya. Mereka juga terkenal tidak pernah lupa dengan janji-jani yang telah diucapkannya. Mungkin karena ketidaktahuan balas budi yang telah sedemikian merambah di zaman akhir sehingga manusia dapat begitu mudah lupa, masa bodoh dengan segala perjuangan dan kebaikan yang telah diperbuat untuknya. Dan Mosye adalah bagian dari mereka, seorang yang kini telah menentang Imran dan Zakaria yang telah menjadi pengasuhnya. “Akhir zaman....,” kata Hanna kepada pohon-pohon zaitun yang diajaknya bicara. “Akan datang hari akhir... akan datang hari penghujung, yang kesetiaan dan sikap tahu balas 95budi akan hilang bersamanya. Kesetiaan akan terangkat dari al-Quds sehingga seorang akan menjadi mangsa bagi yang lainnya….” Demikianlah kata para leluhur. Betapa pedih hati Imran dan Nabi Zakaria saat kembali ke rumah di malam itu. Meski keduanya sama sekali tidak menunjukkan kepedihan hati, di pagi hari berikutnya Hanna maupun al-Isya telah mendengar desas-desus yang begitu memerahkan telinga. Sesak serasa jiwa dibuatnya. Semua orang telah ramai menggunjing. “Mandul, laknat ilahi!” seru Mosye dan orang-orang yang mengikutinya. Penghinaan itu cepat merambah ke seantero kota. Bahkan, penghinaan menyakitkan sampai juga ke dalam rumah tangganya. Dicap sudah keluarganya oleh semua orang yang tidak punya hati. Tercabik-cabiklah hati Hanna dan al-Isya. “Dua orang ini adalah wanita terlaknat yang menjadi mandul. Huh....” Mendengar ini, Nabi Zakaria sampai-sampai mengeluhkan orang yang menebar hinaan itu. “Inikah wujud persaudaraanmu? Sungguh keji sekali perbuatanmu wahai orang yang kami telah anggap sebagai saudara. Inikah hal sebaliknya yang engkau lakukan kepada kami? Inikah persahabatan, inikah balas budi? Bukankah engkau adalah seorang yang telah mengabdikan diri di jalan Tuhan, mengabdi untuk membimbing, memberi contoh kepada masyarakat? Lalu, mengapa engkau tega menyebar itnah yang sedemikian keji kepada kami? Apa tujuanmu sehingga kami khawatir dengan masa depan keluarga sepeninggal kami lantaran perbuatan kejimu!?” 96Gunjingan para wanita begitu pedas terdengar di telinga Hanna dan al-Isya. “Bukankah Imran dan Zakaria adalah para alim agung? Mungkinkah keduanya memiliki kekurangan? Pastilah kalian para istri yang lemah. Ah.... Jika saja kalian berdua lebih perhatian kepada suami, pasti akan tercapai keinginan mereka untuk memiliki anak. Namun, rupanya para istri mereka tidak begitu mampu memberikan cinta!” Dan malam itu, al-Isya menangis tanpa henti. Hatinya koyak karena sedih sehingga ia pun mengadu kepada suaminya. “Mengapa engkau tidak meninggalkan diriku yang telah menjadi wanita terlaknat ini?” Nabi Zakaria yang secara usia lebih tua menenangkan hati istrinya dengan penuh kasih sayang. “Engkaulah satu-satunya pendukungku di dunia yang luas ini. Satu-satunya belahan jiwa tempat berbagi derita. Lalu, mengapa engkau berkata begitu? Tidak engkau tahu kalau permasalahan ini adalah kuasa Allah dan takdir-Nya? Meski tahu dan mengimani semua ini, mengapa engkau masih menyalahkan diri dan juga membuatku bersedih hati, wahai Isya!?” Nabi Zakaria bertutur dengan lembut meyakinkan sehingga hati sang istri menjadi tenang. Dan memang demikianlah selalu luka di dalam hati al-Isya terobati. “Kehormatanku paling mulia di dunia ini adalah dirimu, menjadi istri seorang nabi!” kata al-Isya seraya bersimpuh 97dalam pangkuan sang suami. Nabi Zakaria pun segera menarik tanggan untuk berdiri seraya mencium lembut kening istrinya. Betapa kejam orang yang berkata “mandul” untuk mereka. Gunjingan ini sebenarnya sudah lama dan menyeruak sejak ada perebutan supremasi di antara para alim Baitul Maqdis. Imran yang berasal dari keturunan Nabi Harun dan Zakaria yang berasal dari keturunan Nabi Daud sebagai alim agung hampir saja dihardik dari dalam Baitul Maqdis. Lebih-lebih dengan kenyataan bahwa Zakaria telah diutus sebagai nabi. Hal itu membuat para pengasuh Baitul Maqdis yang secara usia dan jabatan lebih tinggi semakin tidak kenal ampun. Mereka merasa telah banyak beribadah, mengabdikan hidup di jalan agama sampai rambut kepala memutih, berzikir, berpuasa, dan menempa spiritual. Namun, mengapa yang justru terpilih di antara mereka untuk menjadi seorang nabi adalah Zakaria? Mereka menyangka diri mereka lebih layak untuk menjadi seorang nabi. Demikianlah, sikap serakah dan sombong telah mengobarkan api kemarahan dan permusuhan... Bahkan, dua lembaga terbesar di Baitul Maqdis, yaitu pesantren akhlak dan hattat, telah dirambah api permusuhan itu. Sebagian dari para ahli tulis kitab berada dalam asuhan Imran dan Zakaria. Mereka adalah ahli takwa, kelompok yang menjaga diri dari politik wali Romawi. Sementara itu, kelompok tablig menyibukkan diri untuk ikut campur ke dalam politik Romawi untuk menjaga keselamatan Baitul Maqdis. Bahkan, mereka tega menandatangani peraturan pemungutan pajak yang sangat membebani warga, sesuatu 98yang ditentang Imran dan Zakaria. Demi mendapat simpati politik dari Romawi, para pengikut kelompok tabligh setuju dengan penerapan pajak karena mereka tidak terkena aturan itu. Perbedaan seperti inilah yang kian hari meruncing. Apalagi, kondisi kesejahteraan masyarakat al-Quds semakin menurun. Tingkat kemiskinan bertambah. Banyak orang sakit, kelaparan, dan hukum yang tidak adil untuk setiap warga. Sudah lama para pengasuh Baitul Maqdis tidak lagi mengindahkan syariat Nabi Musa demi ekonomi dan politik. Sepuluh ajaran tauhid yang diperintah Nabi Musa sudah lama ditinggalkan. Bahkan, mereka telah jauh tersesat dengan mengumpulkan emas dan harta dalam pemotongan hewan kurban dan persembahan. “Dunia bersama dengan politik dan harta kekayaannya harus berada di bawah kendali bangsa Yahudi,” kata mereka. Sejatinya, yang ada dalam pikiran mereka hanya harta dan keselamatan pribadi. Imran telah mengatakan, “Tidak dibenarkan bergabung dengan orang zalim bersama dengan kezalimannya.” Namun, mereka malah berbuat sebaliknya. Mereka semakin asyik terjun ke dalam dunia politik dan menjalin hubungan dengan Romawi dengan alasan masa depan Baitul Maqdis. Tak heran jika mereka mendapatkan status khusus sebagai kasta paling tinggi dengan menjadi pemimpin agama di tempat peribadatan dan dibebaskan dari berbagi tanggungan dan beban. 99Orang-orang yang menghuni tempat peribadatan sebenarnya hanya berkuasa dalam lingkup yang sempit. Karena itulah mereka menerima pemerintahan Romawi karena menjanjikan status khusus di masyarakat, meski harus dengan mengorbankan banyak kepentingan rakyat dan bertentangan dengan ajaran tauhid. Siatuasi ini membuat Mosye selalu tampil memanfaatkan keadaan dengan menyinggung masalah “perubahan zaman”; suatu masa ketika orang-orang fakir, pengangguran, dan wanita diusir dari tempat ibadah. Tidak hanya itu! Dengan dukungan wali Romawi, tempat ibadah juga diawasi para penjaga keamanan untuk mengusir sekelompok orang berpakaian lusuh model lama jauh di luar kota. Rupanya, mereka kerap menentang kebijakan para pengasuh tempat ibadah. Seiring dengan semakin banyak warga miskin yang meminta-minta di pintu gerbang Baitul Maqdis pada setiap Jumat, wali juga memerintahkan pemberhentian bantuan kepada mereka. Tertutup sudah pintu Baitul Maqdis bagi warga. Sayangnya, para pengasuh Baitul Maqdis juga tidak juga bicara barang sepatah kata. Desas-desus gunjingan lain menyangkut Hanna dan al- Isya. Tujuan sebenarnya untuk mematahkan kekuatan suami mereka. Gunjingan pun menyebar seolah-olah Imran dan Nabi Zakaria telah memberi hukuman kepada Hanna dan al-Isya. Atas semua kejadian inilah Hanna mengungkapkan isi hatinya kepada pohon-pohon zaitun yang ada di kebun halaman belakang rumahnya. Akhirnya, ia pun mendengar suara Merzangus yang mendekatinya. “Dengan siapakah Anda berbicara?” “Oh, kamukah Merzangus?” 100“Apakah pohon-pohon zaitun ini bisa mendengar Anda bicara?” “Tentu saja. Allah yang menciptakan pohon-pohon zatun ini, yang telah menciptakan Gunung Tur, dan juga seluruh penduduk Palestina pastilah mendengar suaraku.” “Mengapa Anda begitu sedih?” “Oh tidak... tidak ada apa-apa, anak kecilku.” “Anda adalah seorang wanita yang mulia, Ibunda Hanna. Anda menjamu setiap tamu yang datang mengetuk pintu, menafkahi anak yatim dan fakir-miskin, hormat kepada para alim, dan juga selalu menunaikan kewajiban kepada sanak-keluarga serta tetangga. Semoga Allah berkenan menghilangkan kepenatan di dalam hati Anda, mengabulkan segala doa yang dipanjatkan kepada-Nya.” “Ah, anak kecilku yang manis! Sungguh baik sekali perkataanmu!” “Saya sering membaca suhuf Nabi Idris bersama dengan Kakek Zahter pada malam-malam hari saat saya tidak bisa tertidur di tengah-tengah perjalanan di padang pasir. Dalam suhuf itu dijelaskan tentang para hamba yang terpilih. Mereka adalah para hamba yang cerdas, sederhana, namun kaya akan ilmu dan hikmah. Dan Anda dengan seizin Allah adalah salah satu dari mereka. Mohon Anda jangan terus bersedih!” “Apakah kamu bisa baca tulis Merzangus?” “Tentu saja. Saya bisa membaca dan juga menulis. Sedikit tahu geometri dan juga astronomi.” “Ah, Merzangus putriku! Sudah dua tahun para pemuka agama melarang wanita membaca kitab. Jangan sampai ada orang lain yang tahu kalau kamu bisa membaca dan menulis!” 101“Tapi, semua ini adalah hal yang sangat bodoh! Lucu! Mengapa wanita tidak boleh membaca kitab?” “Panjang sekali sejarahnya. Sudahlah, lupakan saja. Meski sebenarnya aku dan juga adikku, al-Isya, yang sedikit banyak telah menjadi penyebab larangan ini. Sudahlah…. ” “Bisakah begitu...? Memangnya apa yang telah Anda perbuat sehingga wanita sampai dilarang membaca kitab?” “Pada saat wali Romawi memberi perintah untuk didirikan patung Caesar di sebelah pintu selatan Baitul Maqdis di arah Damaskus, pada hari pendirian patung itu para wanita Palestina telah berkumpul di tempat yang akan didirikan patung untuk serempak membaca Taurat bab Puji-pujian Lautan’. Saat itu, para tentara mengusir paksa kami semua. Tapi, mungkinkah kami akan menuruti mereka untuk diam? Puji-pujian yang telah dibaca oleh Maryam, kakak perempuan Nabi Musa saat keluar dari Mesir, telah memberikan semangat kepada kami kaum wanita. Saat itu, Nabi Musa memukulkan tongkat dengan tangan kanannya sehingga terbuka jalan di tengah-tengah lautan untuk para hamba yang terzalimi. Kemudian, Firaun dan bala tentaranya mengejar dari belakang, sampai akhirnya mereka tenggelam ditelan lautan. Bisakah, kamu renungi bahwa kezaliman orang-orang Romawi sama dengan kisah ini? Karena itulah kami teguh membacanya dengan khusyuk. Sampai mereka pun mengecap aku dan juga al-Isya sebagai pemimpin kelompok penentang, pembuat kerusuhan.” Riang-gembira wajah Merzangus mendengarkan kisah sekelompok wanita yang berani menentang itu. Saat itulah ia mulai dengan keras melantunkan puji-pujian “Syair Lautan”. Tuhan telah menghantamkan kuda dan hewan tunggangan lainnya pada lautan, 102Pada hari itu Ia telah menyelamatkan Bani Israil dari tangan Firaun. Dan Allah adalah Zat Yang Mahaperkasa dari para hamba yang sombong, Sehingga kuda dan hewan tunggangan lainya dihantamkan pada lautan. Duhai Allah, Engkau Zat Yang Mahaagung dan Mulia, Perangilah orang-orang yang melawan-Mu, tunjukkanlah murka-Mu atas mereka... Hapuskanlah para zalim layaknya abu jerami yang lenyap terhempas angin, Pada hari itu air yang cair mengalir dipaksa tegak seperti dinding, Membeku dalam kedalaman hati lautan, Musuh berkata “Akan aku ikuti” Namun engkau mengembuskan angin sehingga lautan pun menyapu mereka! Lautan telah menyelimuti mereka! Riang hati Hanna dan Merzangus. Keduanya saling berpelukan. Hanna pun mengecup rambut Merzangus seraya berkata, “Bait puji-pujian inilah yang kami baca bersama-sama dengan sekelompok wanita. Dan sang wali telah mengecap kami sebagai pembangkang.” Saat itu keduanya kembali tertegun. “Awalnya, mereka mengumumkan bahwa pintu timur Baitul Maqdis akan ditutup sebagai hukuman. Tentu saja semua orang kaget. Kemudian, beberapa guru pesantren yang diketuai Mosye mencapai kesepakatan dengan sang wali. Entah apa yang telah mereka sepakati? Namun, di malam itulah semuanya mulai terjadi. Kaum wanita dihukum sebagai 103kelompok terlaknat, penentang. Mosye telah berkata kepada sang wali, Semua ini terjadi tanpa sepengetahuan kami. Mohon kami dimaafkan.’ Sang wali pun mengampuni dengan syarat kaum wanita dilarang masuk ke dalam masjid sebagai ganti penutupan pintu timur.” “Ah...,” kata Hanna melanjutkan. “Dan setelah itu kembali ada larangan bagi wanita untuk belajar dan pergi ke masjid. Bahkan, mereka mendatangi semua rumah satu per satu untuk mengambil semua buku yang ada. Sejak saat itulah kaum wanita Palestina dilarang untuk membaca dan menulis. Sekolah kaum wanita yang ada di Baitul Maqdis juga ditutup sejak saat itu. Bahkan, kami dilarang untuk sekadar menaiki tangga depan masjid. Jika engkau bertanya mengapa’ kepada para guru di Baitul Maqdis, mereka akan menjawab dengan berkata semuanya berada di bawah tanggungan mereka. Dan demi keselamatan al-Quds, kami pun diwajibkan diam dan tunduk.’ Padahal, kami adalah kaum yang telah berjanji untuk tidak tunduk kepada selain Allah. -o0o- 10411. Hnna Mengndng Kini hati Hanna yakin sudah bahwa dirinya telah mengandung. Benar-benar mengandung. Berisi. Benar-benar diberi amanah, Mengandung seorang bayi. Semua ini ternyata tidak seperti yang dipikirkan sebelumnya bahwa masa suburnya telah tiada. Ia pun berdoa dengan dengan ribuan pujian dan harapan kepada Tuhannya penuh dengan kekhusyukan. “Ya Rabbi! Jadikanlah bayi ini sebagai orang yang benar- benar merdeka, merdeka untuk hanya aku persembahkan kepada-Mu! Kabulkanlah doaku. Sungguh, Engkau adalah Zat Yang Maha mendengar lagi Maha Mengetahui.” Demikian doa Hanna meluapkan rasa syukur dan senangnya. Wajahnya kembali cerah, kedua tangannya gemetar penuh kegembiraan. Ia kembali terbayang masa-masa muda yang penuh dengan energi. Berlarilah dirinya ke segenap ruangan. Terbang bagaikan kupu-kupu. Segera ia gandeng tangan Merzangus untuk diajaknya berlari memberi kabar ke saudara perempuannya, al-Isya. Ia pun meluapkan kegembiraannya begitu mendengar 105berita itu. Bersama meluapkan kebahagian dan rasa syukur yang seketika mengubah suasana menjadi seperti hari raya. Terguyur hati mereka dalam hujan kebahagiaan. Sebagaimana adat penduduk Palestina pada umumnya saat dalam suasana bahagia, halaman depan pintu rumah diguyur dengan air segar. Tak lupa bersedekah berpiring-piring buah zaitun kepada para peminta-minta serta aneka macam makanan dan minuman kepada para mufasir. Aneka bunga-bungaan pun digantung di jendela rumah. Setiba di rumah, bagaimanakah dirinya akan memberi tahu kabar gembira ini kepada suaminya? Al-Isya mulai sibuk memasak berbagai macam makanan untuk merayakan kabar gembira yang akan diberitahukannya kepada sang suami. Sementara itu, Merzangus sibuk merias tangan Hanna dengan tinta inai dan menyisiri rambutnya dengan minyak asir. Sepanjang hari, orang-orang berkumpul untuk melantunkan dan mendengarkan puji-pujian di rerimbunan kebun zaitun. Mendapati suasana yang seperti itu, pepohonan zaitun yang telah lama menjadi sahabat sejati Hanna seolah-olah ikut bersuka cita dengan mengembuskan angin sepoi-sepoi. Semilir udara terasa.... Seolah-olah semua makhluk bergoyang satu sama lain ikut meluapkan kegembiraan. Langit dengan bumi, mentari dengan puncak gunung saat terbit, dedaunan dengan sesamanya, sayap burung-burung yang satu dengan yang lain. 106Seakan-akan seisi alam raya kembali hidup dengan titah Zat Yang Maha Menghidupkan telah bermandikan luapan cinta dan kegembiraan di halaman kebun rumah Hanna. “Apa?” tanya Imran. Ia berhenti meneguk sirup seraya meletakkan gelasnya di atas meja dengan keras. Batangan es yang memenuhi gelas pun terkoyak hampir tumpah. Berdetak kencang jantungnya. Tersentak hatinya mendengar kata-kata yang baru saja diucapkan istrinya. Seisi rumah pun ikut guncang.... “Apa? Aku tidak mengerti dengan apa yang kamu katakan?” “Aku bilang bahwa aku sudah mengorbankan bayi yang masih berada di dalam kandungan ini kepada Allah!” “Bukankah kamu sendiri sangat tahu apa yang dimaksud dengan mengorbankan anak untuk Allah, Hanna! Kamu adalah saudara perempuan, keturunan Harun. Dan kamu juga tahu dari apa yang telah ia ajarkan bahwa hanya anak laki-laki yang bisa dikorbankan kepada Allah. Lalu, dari mana kamu tahu kalau bayi yang ada dalam kandunganmu itu akan lahir laki-laki?” “Allah Maha Mendengar apa yang kita niatkan. Aku selalu berdoa agar lahir bayi laki-laki untuk aku korbankan di jalan- Nya.” “Ah, Hanna! Tidaklah baik tawar-menawar dengan Tuhan! Seharusnya kita memohon apa yang terbaik dari-Nya!” “Kamu memang selau begitu wahai Imran saudara Harun! Selalu saja kamu bicara keras kepadaku. Selalu saja kamu menganggap diriku sebagai orang yang yang salah dan kurang. Selalu saja bicaramu bernada membentak, menyalahkan.” 107Hanna pun menangis. Imran pun gemetar, takut telah berbuat yang melampui batas kepada Allah. Di samping itu, ia juga merasa sedih dengan perasaan penuh salah karena telah melukai hati istrinya yang telah bepuluh-puluh tahun merindukan seorang anak. Ia hanya mondar-mandir tanpa bisa berbuat apa-apa. Ia memerhatikan berbagai macam makanan yang telah dihidangkan di meja, kemudian sesekali melihat ke arah istrinya yang telah berias sedemikian rupa namun kini sedang menangis pilu. Entah, siapa yang tahu seperti apa riang gembira hati sang istri karena menunggu kedatangan suaminya untuk memberi tahu berita gembira. Pedih ia melihat semua yang telah dilakukan. “Sungguhkah kata-kata itu terlalu keras?” Bagaimana kalau hati sang istri yang telah berpuluh-puluh tahun merindukan anak kini menjadi patah? Namun, bukankah ia harus lebih bersabar karena telah berjanji kepada Allah? Terdiam Imran untuk beberapa lama tanpa tahu apa yang harus dilakukan. “Janganlah engkau menangis, wahai istriku!” kata Imran seraya membelai rambut istrinya. Memerhatikan keadaan yang kurang mengenakkan, al- Isya segera mengajak Merzangus pergi. Membiarkan kedua suami-istri adalah hal yang terbaik dalam saat-saat seperti ini. “Ada apa dengan semua ini?” tanya Merzangus dalam kerdipan mata tak mengerti. Mengapa semua orang tidak bahagia? 108“Sungguh, Allah adalah Zat yang tak pernah habis dengan rahmat. Ia pasti akan mencintai dan melimpahkan rahmat- Nya kepada para hamba yang jujur dan bertakwa. Karena itu, janganlah kamu bersedih hati, wahai putriku. Sungguh, Imran dan Hanna adalah orang yang jujur dan bertakwa. Semoga Allah berkenan melimpahkan rahmat kepada mereka dan juga kita,” jawab al-Isya. -o0o- 10912. Susna Hti Imrn Remuk serasa hati Imran saat itu. Setelah berpuluh-puluh tahun lamanya, berita suci yang ia dengar adalah istrinya mengandung bayi! “Segalanya datang silih berganti. Mungkin inikah penyebab gundah hati yang aku rasakan?” demikian pikirnya. Kegundahan yang susah dipilah, sesusah dua bangsa yang saling bercerai oleh tekanan politik Romawi. Belum lagi perpisahan dengan Nabi Zakaria karena desas-desus yang berkembang belakangan. Hatinya juga merintih pedih berharap dikarunia seorang anak. Namun, hal ini sekali pun tidak pernah ia ceritakan, baik kepada istrinya maupun kepada yang lain. Di samping itu, semua isyarat tertuju kepada Hanna dan al-Isya, orang-orang yang mandul karena terlaknat’. Dalam keadaan seperti ini, berita soal Hanna yang sedang mengandung sesungguhnya adalah hadiah agung dari Yang Maha Pengasih. Sungguh, hati Imran telah koyak seperti bulu-bulu domba yang disamak menjadi benang. Terlintaslah kata-kata Zahter beberapa saat sebelum wafat, “Teruslah bertawakal kepada 110Allah. Sungguh telah dekat kedatangan berita gembira’ tentang sang pembawa kabar gembira’.” Atau jangan-jangan? Jangan-jangan bayi yang akan lahir ini adalah...? Atau, jangan-jangan, kehamilan dan kata-kata istrinya untuk mengorbankan sang bayi kepada Allah adalah tanda semakin dekat kedatangan “sang utusan”, “pembawa berita gembira”? Namun, menurut Imran, pemikiran itu hanya kondisi psikologis seseorang yang berada dalam tekanan karena sedang menantikan kedatangan seorang penyelamat. Lintasan ini kembali ia pertanyakan kepada dirinya sendiri. “Kerusakan segala tatanan di al-Quds, para perampok yang merajalela, dan sepuluh perintah Tuhan yang telah hilang telah membawamu pada pemikiran yang seperti ini, wahai Imran. Engkau pun seperti seorang ibu yang sudah renta dan mulai mengharapkan kedatangan seorang penyelamat.” Keadaan setiap orang yang berada dalam keputusasaan, kegagalan, kepenatan, porak-poranda, tatanan yang dijajah orang-orang bengis. Sebelumnya, ia akan berdiam diri dan kemudian mulai mengharapkan kedatangan seorang penyelamat dari langit. “Mungkinkah keadaan seperti ini juga?” kata Imran dalam hati. Demikian ia mulai berusaha menegakkan kembali pilar-pilar keteguhan jiwanya. Sebagai seorang yang bertawakal, bukan tugasnya untuk menantikan kedatangan seorang penyelamat, melainkan meneguhkan 111kembali penghambaannya dengan berupaya mulai menyelamatkan diri, keluarga, dan kerabat terdekatnya. Ia paham akan hal ini dan juga mengerti bahwa makna dan nilai kehidupan akan dilihat dari ikatan penghambaan seorang manusia. Saat dirinya mencoba membungkam desas-desus yang selalu berbisik, semangat yang meluap-luap dalam sebuah penantian di dalam jiwanya tak ia bisa mungkiri. “Berita gembira akan kelahiran seorang bayi,” katanya dalam suara lirih. “Kedatangan berita akan menjadi seorang ayah’ di saat usianya sudah lanjut,” katanya mencoba menenangkan diri dari gejolak di dalam jiwanya. Berjalan dan terus berjalan mengitari ruangan saat semua ini terlintas di dalam pikiran Imram. “Ah...,” katanya. “Hanna, engkau terlalu tergesa-gesa!” Bahkan, Hanna telah juga mengundang para dukun bayi terkenal dengan sebutan “tujuh dukun bayi al-Quds” ke rumahnya. Ia juga memberi tahu kepada mereka tentang kehamilannya. Bahkan, mereka juga membenarkan kehamilan itu setelah diperiksa. Tidak luput dari doa, pujia-pujian, dan membakar tembakau daun zaitun sebagai perayaan kegembiraan. Sebagai adat, setiap anak yang dikorbankan untuk Allah, nama panggilannya akan diberitahukan kepada Baitul Maqdis lewat “para dukun bayi”. 112Hanya saja, adat yang berlaku selama ini adalah untuk anak laki-laki. Jika seorang bayi laki-laki terlahir dan seorang ibu ingin mengorbankannya kepada Allah, dukun bayi yang memotong tali pusarnya akan mendaftarkan namanya kepada Baitul Maqdis. Sementara itu, anak perempuan tidak bisa dikorbankan. Setiap anak yang dikorbankan untuk mengabdi di masjid akan mendapatkan pembinaan disiplin dan penempaan isik yang sangat berat. Karena itu, anak-anak perempuan diyakini tidak akan kuat karena secara isik sangat lemah. “Ahh...,” kata Imran. “Istriku, sungguh dirimu terlalu tergesa-gesa! Apa jadinya kalau yang lahir bukan bayi laki- laki? Apa yang akan dikatakan para pemuka Baitul Maqdis yang selama ini telah bersepakat melawan kita? Pastilah hal ini hanya akan mengundang kebencian baru. Apalagi, selama ini mereka memang mencari-cari alasan untuk merendahkan martabat kita.” -o0o- 11313. Susna Hti Hnna Hanna mengurung diri di dalam kamar yang lain untuk beberapa lama. Bayi yang ada dalam kandungannya tidak lain tidak bukan adalah anugerah dari Allah. Bayi yang lahir pada usiannya yang sudah begitu senja tentu harus dikorbankan di jalan-Nya... Bukankah ini adalah pengungkapan rasa syukur yang terdalam bagi seorang hamba yang selama berpuluh-puluh tahun merindukan seorang anak? Bukankah pengungkapan syukur yang sebenarnya, pemujaan yang sesungguhnya, persembahan yang paling mulia, adalah bayi yang ada di dalam kandungannya? Lebih dari itu, tidakkah hal itu semestinya akan membuat bahagia suaminya yang setiap kali mengingatkan bahwa “engkau telah menjadi budak perasaan untuk meminta?” Jadi, meski selalu memohon, ia juga akan mengembalikan bayi ini kepada Allah. Allah Mahatahu. Sepanjang hidupnya, Hanna hampir selalu berdoa untuk dikaruniai seorang anak. Pada saat inilah Hanna akan mendapati “ujian meminta” untuk mengorbankan “apa yang diinginkan” di jalan yang sesuai dengan keinginan- Nya. 114“Segala puji aku haturkan kepada-Mu, wahai Tuhan yang menjadi tempat meminta segala permintaan. Puji syukur aku haturkan kepada-Mu yang telah mengabulkan apa yang aku minta selama berpuluh-puluh tahun ini. Kini, aku pun ingin mengorbankan “apa yang sangat aku inginkan itu” ke jalan- Mu. Mohon berkenan Engkau kabulkan pengorbananku ini!” Tidak ada nikmat kemuliaan di dunia ini yang setimpa, seimbang, dan seberat keinginannya untuk memiliki seorang anak. Menjadi seorang ibu jauh lebih ia inginkan daripada semua kenikmatan dunia yang lainnya. Namun, sebagaimana akhlak setiap hamba yang bertakwa, ia juga kadang merasa takut dengan dirinya sendiri. Takut karena terlalu menginginkan sesuatu. Keinginannya yang kuat untuk menjadi seorang ibu telah melekat, mengikat segala sendi kehidupan. Padahal, bagi seorang hamba yang mengharapkan rida Allah, setiap jenis kecanduan, keterikatan, dan keinginan masing-masing adalah penghalang dalam penghambaan kepada Allah. Padahal, bukankah seharusnya setiap hamba memangkas segala bentuk keterikatan, keinginan, dan kecenderungan dari selain kepada-Nya untuk dapat mencapai kedekatan kepada Allah? Hanna merasakan bahwa segala bentuk keinginan, kecenderungan, dan kedekatannya kepada dunia ibarat rantai yang melilit, menjerat dirinya. Sungguh benar juga apa yang dikatakan sang suaminya. Ia hampir terpenjara, terlilit erat oleh keinginannya yang kuat untuk memiliki seorang anak. Padahal, di antara dirinya dengan Allah telah terjadi perjanjian tauhid. Sebuah keterikatan yang tidak bisa dicapai dengan hasrat dan keinginan, tapi dengan kesadaran, yaitu penghambaan. Sebuah keterikatan yang juga merupakan 115deklarasi untuk meninggalkan segala bentuk keterikatan dan hasrat duniawi lainnya. Sebuah perjanjian penghambaan. Dan pengorbanannya ini adalah untuk memangkas segala rantai- rantai pengikat dunia, untuk menjadi hamba yang merdeka, untuk membebaskan ruhnya dari segala jeratan. Mengorbankannya akan menjadikan dirinya sebagai hamba yang merdeka dari keinginan yang menjeratnya. Dengan demikian, ia korbankan juga kepada Allah bayi yang menjadi satu-satunya keinginannya di dunia. “Duhai Rabbi, terimalah persembahanku,” katanya sembari bersujud. Pengorbanannya ini telah membuatnya merdeka, menjadi hamba yang semakin mendekatkan diri kepada Allah. Dalam hal ini, satu-satunya orang yang paling bisa memahaminya adalah Nabi Zakaria suami adiknya. Bukankah dia sendiri yang telah menjadi perawat para kurban pesembahan kepada Allah di Baitul Maqdis? Bukankah dia yang memegang kunci-kunci Betlehem? Bukankah dari Nabi Zakaria pula ia mendengarkan pemahaman ajaran akan pengorbanan? “Bukanlah daging,darah,maupun tulang-tulangkurbanmu yang akan mendekatkanmu kepada Allah, melainkan kesadaranmu untuk menghamba, untuk rida kepada-Nya.” Bukankah demikian yang dikatakan Nabi Zakaria? 116Berkurban merupakan wujud rasa syukur kepada yang dipersembahkan, ungkapan terima kasih terbaik kepada Zat Yang Maha Memberi. Oleh karena itulah… oh, oh…. Tidak! Memang tidak mungkin Hanna bersikap pelit. Tidak mungkin pula ia hitung- hitungan, tawar-menawar dalam hal ini. “Ya Rabbi, aku berkurban kepada-Mu dengan apa yang terbaik yang ada pada diriku, dengan berkurban bayi yang akan terlahir dari kandunganku untuk mengabdi di jalan-Mu.” -o0o- 11714. elairn Marym “Tidak mungkin mendapati dua kebahagiaan dalam waktu yang bersamaan, dua musim semi yang datang silih berganti,” demikian dikatakan para wanita Palestina pada masa lalu. Saat sedikit saja bahagia, selanjutnya akan datang kesedihan sebagai ujian. Oleh karena itu, mereka takut tertawa lepas dengan menunjukkan gigi. Mereka juga paham bahwa setiap tangisan akan diiringi kedatangan senyuman. Demikianlah pola kehidupan orang-orang di Palestina. Begitu pula kehidupan seorang Hanna. Sampai sudah di bulan ketujuh kehamilannya. Tubuhnya makin kepayahan. Menjadi seorang ibu di usia yang sudah menginjak senja membuatnya sampai tidak dapat keluar rumah. Untung saja ada Merzangus dan al-Isya. Keduanya selalu membantu dalam menyelesaikan pekerjaan sehari-harinya. Bahkan, mereka tidak membiarkan Hanna menyentuh air dingin. Keduanya juga telah melakukan berbagai persiapan menjelang kelahiran. Merajut dan memintal benang adalah adat penduduk Palestina. Berbagai macam pakaian untuk 118sang bayi yang akan lahir pun tersedia. Setelah lahir sampai dapat duduk dan berdiri dengan lancar, anak akan tinggal bersama Hanna. Setelah itu, seabagaimana anak-anak lain yang telah dikurbankan, ia akan diserahkan kepada Baitul Maqdis. Setelah tinggal di sana sampai di usia dewasa, ia akan memutuskan sendiri untuk memilih tinggal bersama keluarganya atau tidak akan kembali lagi untuk melanjutkan mengabdi sambil belajar. Merzangus selalu memilih warna biru. Ia membuat sarung tangan bayi, penutup kepala, dan popok serbabiru, seraya mulai menghitung hari kelahiran. Merzangus juga menggambar bintang-bintang di langit dengan satu bintang paling besar dan bercahaya. “Lihat, bintang ini adalah kamu!” katanya nanti kepada sang bayi yang akan lahir. Sementara itu, al-Isya meminta dibuatkan buaian dari kayu kepada suaminya, Nabi Zakaria, untuk sang kemenakan yang akan segera lahir. Semua orang sibuk… semua orang gembira dalam penantian. Tiba-tiba berita duka membuat Hanna terpuruk. Teman hidupnya, tiang rumah tangga, pintu, sandaran, dan penopangnya, Imran sang suami, wafat. Suatu hari, wajah Merzangus terlihat begitu pucat. Ia berlari kencang dari pasar untuk segera menuju rumah. Sesampai di rumah, setelah terdiam untuk beberapa lama menatap Hanna yang sedang berdiri tepat di pintu rumah, ia langsung jatuh pingsan. 119“Hah, Merzangus pingsan!” Hanna pun segera pergi ke dapur untuk mengambil air dingin. Ia ingin membasuh muka anak itu agar segera siuman. Namun, baru sampai di pintu rumah dengan gayung berisi air, ia melihat rombongan dengan kereta kuda. Ham, Sam, Yafes, ketiga darwis sahabat Zahter, telah membawa jenazah Imran dengan membaringkannya di atas kereta kuda. “Demi Allah, katakan apa yang telah terjadi? Imran selama ini tidak pernah tidur di waktu siang hari. Dan lagi, mengapa dia dibawa dengan kereta kuda ini? Mengapa para darwis ini turun dari Bukit Zaitun meninggalkan tempat uzlahnya? Dan lagi mengapa Zakaria ikut datang juga? Apa yang telah terjadi dengan semua ini? Mengapa dia tampak pucat menundukkan wajah? Al-Isya juga mengenakan pakaian serbahitam? Mengapa... mengapa? Apa yang sebenarnya telah terjadi!?” Semua pertanyaan dan kekhawatiran terus membanjiri, seolah-olah seisi kota al-Quds mengguyur isi pikirannya. Mengapa orang-orang berduyun-duyun datang ke sini? Mengapa para tetua juga ikut berkumpul di rumahnya? Jangan… jangan, mereka jangan ke sini! Biarlah mereka pergi meninggalkan rumah ini… biar Imran kembali bangkit dari atas kereta kuda. Biar Imran tidak mati. Biar Imran menjadi seorang ayah...! “Ah, Imran saudara Harun! Kehidupanmu selalu begitu. Telah datang perintah dari Zat Yang Mahakuasa sehingga engkau pun pergi tanpa memberi tahu siapa saja sebelumnya. Ah, Imran saudara Harun! Engkau pergi tanpa melihat anakmu, tanpa membelai dan mencintai anakmu. Pergi sejauh-jauhnya ke tempat yang telah dituliskan.” 120Demikianlah keadaan Hanna. Ia terus bicara tanpa sadar mana yang sungguhan dan mana yang igauan. Genap lima belas hari ia terbaring dalam suhu badan yang sangat tinggi tepat setelah mendengar berita kematian suaminya. Pudar sudah suasana di dalam rumahnya. Tirai kain berwarna abu- abu menutupi seluruh ruangan. Gelap, menghitam sudah awan di atas taman zaitunnya. Pohon-pohon pun ikut menangis dalam kepedihannya. Dalam keadaan seperti itu, Hanna terus bersedih karena khawatir kehilangan buah hati yang masih berada di dalam kandungannya. Tujuh dukun bayi yang sebelumnya memeriksa kandungannya dan mendapati sang bayi dalam keadaan sehat kini telah terselimuti perasaan khawatir. Mereka takut sang bayi tidak bergerak dan berhenti bernapas karena ikut merasakan kepedihan. Tidak ada tanda-tanda janin bergerak di dalam kandungan Hanna. Lebih dari satu jam. Belum juga lahir ke dunia, sang bayi sudah tak punya seorang ayah yang akan menopang kehidupannya. Belum juga lahir, sang bayi sudah bersandar pada dinding tak berayah yang begitu dingin dan membuatnya menggigil. Setelah sepuluh hari, Hanna kemudian bangkit dari kesedihan. Bangkit dari rasa pedih yang membuatnya sangat terkejut atas kepergian sang suami. Pada malam hari menjelang pagi, jeritan terdengar memecah telinga. Darah mengucur deras. Merzangus dan al-Isya yang tidur di samping Hanna segera bangun untuk mencari kain guna menghentikan pendarahan. Namun, seluruh upaya yang mereka lakukan sia-sia. Darah mengucur dengan begitu deras. 121Merzangus segera berlari memanggil salah satu dari tujuh dukun bayi yang paling dekat rumahnya. Langsung saja ia ketuk pintu yang seolah-olah dengan kepalan tangan. Saat pintu terbuka dengan keras, seorang nenek bernama Murver menghampiri. Nenek yang sudah lanjut usia dan bungkuk jalannya itu pun segera mengambil alat sebisa yang ia bawa. Keduanya berjalan dengan cepat menembus keheningan malam, kencang menuju rumah Hanna. Saat itulah mereka melihat rumah itu memancarkan cahaya. Setiap tempat gelap gulita, jalan-jalan setapak, gang-gang, bahkan daerah di sekitar permukiman terang benderang. Padahal, mentari masih lama terbit. Namun, cahaya terang yang terpancar dari rumah Hanna laksana mentari yang baru saja terbit. Nenek Murver pun mengangkat pandangannya ke arah langit. “Allah adalah wakil kita!” katanya seraya terus berjalan masuk ke dalam rumah. “Atas izin Allah, telah lahir bayi perempuan. Semoga Allah menjadikanya sebagai anak mulia!” kata Murver seraya membalut bayi yang baru lahir dengan kain. Saat Hanna sedang dalam suasana yang begitu perih, kepedihannya semakin menjadi saat mendengar bayi yang dilahirkannya adalah perempuan. Sebelumnya, ia telah berniat mengorbankan anaknya kepada Allah sehingga berharap yang lahir adalah anak laki-laki. “Ah! Ya Rabbi!” jeritnya pedih. Teringatlah apa yang dikatakan oleh Imran kepadanya. “Ya Rabbi! Sungguh, Engkau telah melahirkannya sebagai bayi perempuan saat diriku menantikannya sebagai bayi laki- laki.” 122Sementara itu, al-Isya yang menunggu di ruangan tempat kelahiran menimpali dengan berkata, “Puji dan syukur kita haturkan kepada Allah yang telah melahirkannya. Pasti Dia mengetahui apa yang seharusnya terjadi. Coba lihat, betapa cantik bayimu. Lihatlah, pasti kamu tidak akan mau lagi berpisah darinya.” Menangis Hanna sembari mendekap bayi yang baru saja dilahirkannya. Allah pasti Maha Mengetahui. Pasti Dia tahu bahwa bayi ini akan dikurbankan. Meski demikian, “Perempuan tidaklah seperti laki-laki. Ia lebih lemah secara isik. Tentulah ia tidak akan bisa mengabdi di masjid sekuat kaum laki-laki,” kata Hanna dalam hati seraya terus memikirkan apa yang akan terjadi. Dirinya telah salah mengira. Memang benar bayinya perempuan. Dan memang, perempuan tidak sama dengan laki-laki. Namun, bayi perempuan ini akan melakukan kebaikan yang tidak dapat dilakukan kaum laki-laki. Hanna belum mengetahui hal itu. Seandainya saja yang lahir adalah bayi laki-laki, pasti ia tidak akan mampu mengabdi sebagaimana jika yang terlahir perempuan. Hanna tidak tahu semua itu.... Hanna juga belum tahu kalau Zat Yang Maha Mencipta telah menghendaki bayi perempuan. Bayi yang baru saja lahir itu akan menjadi seorang ibu yang sangat penyabar, tabah, dan penuh keteguhan. Seorang ibu yang akan melahirkan seorang putra bernama Isa yang akan menyeru kepada seluruh dunia dengan ajarannnya. Seolah-olah ribuan lilin serempak dinyalakan dan ruangan menjadi begitu terang. Tidak hanya itu, harum semerbak wewangian juga tercium begitu memesona oleh setiap orang 123yang ada. Jelas tercium wangi bunga mawar segar, melati, mint, cengkih, dan oregano. Kening sang bayi juga begitu terang memancar laksana permata. Ia tersipu dengan senyuman maknawi yang mengembuskan ketenangan penuh makna. Begitu lain dibanding bayi pada umumnya. Merzangus juga terpana memerhatikan wajah mungil bayi yang akan menjadi teman dekatnya. Ia perhatikan bayi itu seolah-olah tersenyum dengan sisih waja yang kanan dan menangis pada sisi wajah yang kiri secara bersamaan. Mungil kedua tangannya, bergerak-gerak mencoba menggapai udara kosong yang ada di atasnya. Hanna berusaha mengumpulkan seluruh tenaganya untuk duduk bersandar di pembatas ranjang. “Ya Rabbi! Aku beri nama bayi ini Maryam. Aku berharap Engkau berkenan melindunginya dan keturunannya dari setan yang telah dihardik!” katanya. Hati Merzangus terasa begitu berdebar. Maryam adalah nama paling baik untuk diberikan kepada seorang bayi. Maryam bermakna seorang hamba yang tekun beribadah, tekun menghamba kepada Allah, dan juga berarti seorang perempuan yang begitu rajin bekerja. Maryam juga nama kakak perempuan Nabi Musa. Ibundanya yang bernama Hani telah mengutus Maryam agar Musa yang masih bayi dialirkan pada sungai dengan sebuah peti kayu. Sepanjang sungai ia mengikuti laju adiknya. Dengan penuh kehati-hatian, ia mengikutinya. Dan memang, ia adalah seorang yang cerdas dan cekatan. Begitu mendapati aliran peti kayu yang berisi bayi adiknya melaju ke kolam istana Firaun, segera Maryam bersembunyi di balik semak- semak. Kemudian, ia mendapati istri Firaun yang bernama 124Asiyah begitu bahagia mendapati bayi adiknya. Bahkan, ia juga mendengar Asiyah memang menginginkan seorang ibu untuk menyusui bayi yang didapatkannya. Tidak hanya itu, Maryam juga telah menjadi perantara agar ibundanya dapat datang ke istana untuk menyusui adiknya dengan air susu ibundanya sendiri. Demikianlah seorang Maryam. Ia begitu cerdik, cekatan, rajin, cerdas, pemberani, dan suka berkorban. Inilah silsilah Maryam ayahandanya bernama Imran, putra Masan, putra Yasyham, putra Amun, putra Minsya, putra Hazkiya, putra Ahaz, putra Yusam, putra Azriya, putra Yawsy, putra Ahzihu, putra Yaram, putra Yah Afas, putra Asa, putra Abya, putra Rahba’am, putra Sulaiman , putra Daud ... Ketika masih dalam kandungan, Maryam adalah seorang yang telah dipanjatkan doa kepada Allah agar terlindungi dari kejahatan setan. Dan benar, para alim pada masa-masa kemudian telah menjadi saksi kalau Maryam adalah seorang yang terlindungi dari setan dan kenistaan. Para alim di masa setelahnya pun telah membubuhkan catatannya demikian “Tidak ada satu bayi pun yang terlahir di dunia ini tanpa disentuh oleh setan. Karena disentuh setan, setiap bayi menangis. Namun, Maryam dan putranya Isa adalah terkecuali.” Bagaimanakah garis takdir seorang bayi? Bagaimana Tuhan menetapkan garis takdir pada seorang bayi yang diciptakan dari setetes air yang kemudian dibentuk 125menjadi embrio, dibentuk lagi dengan kerangka, daging, dan otot-otot sehinga menjadi bentuk yang sempurna? Tentu saja ini pertanyaan yang berat. Para alim yang lain juga menuliskan tentang sosok Maryam yang tidak tersentuh oleh setan sebagai berikut. “Ketika seorang bayi masih berada di dalam kandungan, malaikat bertanya kepada Allah untuk ditulis seperti apa garis takdirnya? Allah memerintahkan malaikat melihat ke arah kening ibundanya. Malaikat pun memerhatikan kening ibundanya yang terdapat catatan dan tampak bercahaya. Dari catatan itulah bentuk rupa sang anak di masa mendatang, ajal, kebahagiaan, dan kesedihan yang akan dialaminya terlihat satu per satu. Saat itulah malaikat meminta malaikat yang lain mencatat apa yang telah dilihatnya. Pada catatan itu pula malaikat membubuhkan tanda bahwa catatan tersebut dengan seizin dan perintah Allah dapat diubah di waktu kemudian. Setelah itu, hasil catatannya distempel dan ditempelkan di kening di antara kedua mata sang bayi. Saat bayi dilahirkan ke dunia dari rahim ibundanya, ada malaikat bernama Zajir yang mendekapnya. Dekapan itulah yang membuat setiap bayi menangis saat dilahirkan.”* Ada satu kalimat kunci tentang Maryam dan garis takdir yang telah ditetapkan kepadanya, yaitu “ia telah dikurbankan”. 126Ya, Maryam telah dikurbankan. “Kurban, nazar” sebenarnya janji untuk melakukan sesuatu padahal tidak diwajibkan kepadanya. Kalimat kunci kedua tentang Hanna dan Maryam adalah “mereka menjadi sosok merdeka”. Kata “merdeka” sangat lekat pada diri Maryam. Hal ini menunjukkan bahwa ia merdeka dari tipu daya dan nafsu dunia sepanjang kehidupannya. Kata “muharraran” yang berarti merdeka, diputusnya jeratan tali yang membelenggu yang hanya dapat dirasakan oleh orang yang menjadi budak. Jika masdarnya “tahrir”, berarti juga menuliskan, membubuhkan ke dalam kitab. Karena itulah Maryam adalah sebuah kitab yang lahir dari ibundanya. Terbebas Maryam dari semua jeratan. Saat belum dilahirkan ke dunia, ayahandanya telah tiada. Saat setelah kelahirannya pun ia mendapati ibundanya yang telah sakit. Satu pekan setelah kelahiran, pendarahan yang dialami Hanna semakin menjadi. Saat itulah, ketika al-Isya sedang kembali ke rumahnya untuk mencuci pakaian, Hanna mengambil kesempatan untuk memanggil Merzangus ke sampingnya. “Datanglah kemari wahai anakku yang baik!” “Ibundaku, Hanna! Bagaiamana keadaanmu hari ini, semakin membaikkah?” “Wahai anakku yang manis! Kamu kini telah menjadi anak yang lebih dewasa. Maryam juga nanti akan memanggilmu kakak. Sekarang, aku mau bicara sesuatu, tapi kamu jangan merasa takut!” “Ada apa, Ibunda?” “Kini, kamu sudah lebih dewasa, sudah menjadi kakak!” 127“Ibunda Hanna! Mengapa Anda bicara begitu? Kita akan bersama-sama membesarkan bayinya. Kalau Ibunda bicara seperti itu, tentu saja saya merasa sangat takut.” “Tidak ada yang perlu ditakuti, wahai anakku yang manis! Kemarin malam aku bermimpi bertemu dengan Imran, Merzangus. Aku sangat merindukannya sehingga aku pun berlari menemuinya. Mengapa kamu tidak lagi mengunjungi rumah kita,’ tanyaku kepadanya. Ia pun menjawab, Setelah amanahnya kamu serahkan, justru akulah yang menunggumu untuk datang ke sini besok malam.’ Kemudian, ia memanggilku dengan suara keras, Wahai saudara perempuan Harun,’ katanya sembari menggeleng-gelengkan kepala dan tertawa. Jangan sampai lupa menyerahkan amanahnya,’ katanya mengulangi lagi pesannya.” “Baiklah, Ibunda Hanna. Jangan bunda paksakan. Kita tunggu al-Isya datang. Ia yang lebih tahu tabir mimpi ini. Semoga baik apa yang akan terjadi.” “Merzangus, jangan berpura-pura tidak tahu. Aku sudah lagi tak bertenaga. Tidak ada lagi waktu yang tersisa. Aku tidak bisa menunggu sampai al-Isya datang. Tolong bantu aku untuk bersandar. Tolong juga selimuti Maryam, kita berangkat ke masjid sekarang!” “Tapi, sama sekali tidak ada kain selimut. Al-Isya sudah membawa semuanya untuk dicuci. Sekarang Maryam hanya mengenakan kain tipis di buaian. Kita tidak bisa membawanya keluar tanpa selimut.” “Ambil saja baju jubahku di sana. Selimuti bayinya dengannya!” Meski telah berusaha keras menghalang-halangi, Hanna tetap kukuh untuk melakukan sesuatu. Dengan bayi yang 128diselimuti jubah dan tubuh yang sempoyongan, Hanna membawa Maryam ke masjid dalam dekapannya. Sesekali Hanna terpaksa harus beristirahat untuk beberapa lama... dan sesekali pula ia memberikan bayinya kepada Merzangus... Sementara itu, pendarahan yang dialami Hanna kian menjadi. Seakan-akan jalanan dari rumah hingga ke masjid dipenuhi darah. Tidak tersisa lagi tenaganya. Ia pun lemas bersandar pada sebuah tangga masjid. Para penjaga masjid pun berlari menujunya. Mereka berteriak-teriak keras. Beberapa orang lainnya membunyikan terompet dengan keras. Mereka melarang wanita memasuki masjid. Karena gaduh, para pengasuh pun berdatangan. Mereka tercengang melihat Hanna yang bersimbah darah membawa bayi yang diselimuti jubahnya. Hanna dan Merzangus pun lebih tidak menyangka kalau hal ini akan terjadi. Dengan sedikit tenaga yang masih tersisa, Hanna memegang bayinya seraya berkata, “Bayi ini telah aku kurbankan kepada Tuhan untuk menjadi anak yang merdeka, terbebas dari segala belenggu dan jeratan dunia. Namanya Maryam,” katanya, dan kemudian jatuh tersungkur seketika. Imran dan istrinya, Hanna, wafat silih berganti. Al-Quds pun guncang mendapati berita berkabung ini. “Anak adalah rahasia sang ayah,” demikian kata para leluhur. Demikian pula dengan Maryam. Karena ayahandanya orang yang mulia, para pangasuh masjid pun langsung menerimanya dengan penuh hormat. Kini, sudah tiada lagi yang tersisa selain bayi berselimut jubah yang telah diserahkan kepada masjid agar kenangan dari Imran tetap hidup. Seorang bayi dari keturunan Bani Masan yang bernama Maryam. 129Dialah bayi yang ayah maupun ibundanya keturunan Nabi Harun  dan kini terbaring sendiri, ditinggalkan di atas tangga menuju masjid. Sang ibunda telah menyerahkan bayinya untuk dibimbing dalam ketaatan beribadah, belajar. Ayahandanya adalah Imran bin Masan, seorang alim yang paling terkemuka sehingga semua orang pun berebut untuk dapat menjadi wali asuhnya. Bahkan, beberapa orang yang telah dengan sembunyi- sembunyi menentang Imran saat dirinya masih hidup ikut saling berebut untuk dapat menjadi wali asuhnya. Iya, mereka tahu, siapa yang mengasuh bayi ini akan mendapati kemuliaan dan kehormatan, bahkan sejak sebelum dilahirkan . Demikianlah, Allah dengan kuasa-Nya telah menjadikan hati mereka cenderung mengasihi dan menyayangi seorang bayi bernama Maryam. Sama keadaannya dengan kisah Nabi Musa yang mendapati perlindungan di dalam istana, yang bahkan seorang Firaun pun cenderung mengasihinya. Begitulah kuasa Allah. Seorang yang berhati baja sekali pun dapat tiba-tiba menjadi lembut sehingga sang bayi dapat bertakhta di dalam hatinya.... -o0o- 130ha15. Pengsuh Marym Pada saat Maryam diserahkan, di Baitul Maqdis sudah ada empat ribu anak yang sama seperti dirinya. Mereka semua diserahkan untuk mengabdi di jalan Allah. Seluruhnya laki- laki. Setelah mulai dapat bicara, mereka diserahkan untuk disertakan dalam pendidikan di masjid. Ini berbeda dengan Maryam. Selain wanita, ia masih seorang bayi yang baru dilahirkan. Dirinya butuh wali untuk mengasuhnya sebelum dapat memulai pelajaran dan pendidikan di masjid. Pada saat itulah Nabi Zakaria berbicara dengan tegas. “Diriku menikah dengan bibi bayi yang telah dikurbankan ini. Oleh karena itu, dirikulah yang berhak menjadi walinya,” katanya dengan suara lantang sembari menuruni tangga di pintu masuk Baitul Maqdis. Namun, ketika Nabi Zakaria hendak mengangkat sang bayi, tiba-tiba ada seorang dari salah satu guru telah menghalang- halanginya dengan bersuara lantang pula. “Kami juga ingin menjadi wali asuh bayi mulia yang telah dikurbankan di jalan Allah ini. Anda tidak bisa mengasuhnya begitu saja! Kita harus adakan undian sehingga semua orang akan rela dengan hasilnya!” 132Ketika terdengar seruan untuk berbuat kebaikan yang seperti ini, semua guru juru tulis langsung beramai-ramai berebut untuk ikut melemparkan pena mereka ke dalam sungai. Barang siapa yang penanya tidak tenggelam, dirinyalah yang akan berhak menjadi orangtua asuh Maryam. Demikianlah adatnya... Mereka pun semua mengumpulkan pena kayu kepada seorang santri yang belum balig yang juga telah dikurbankan di jalan Allah. Dengan iringan doa dan puji-pujian, semua pena yang terkumpul akan dibawa ke pinggir sungai Yordan untuk diundi. Satu, dua, tiga, empat, lima.... Genap empat puluh pena. Dan keempat puluh pena itu menginginkan menjadi orangtua asuh Maryam… menginginkan untuk menjadi walinya. Sungguh, inilah kuasa Ilahi. Semua orang berlomba menerima kehadiran Maryam. Kedua mata Merzangus pun berkaca-kaca saat menyaksikannya. Kuasa Zat yang telah membolak-balikkan hati sehingga yang tadinya keras membatu kini menjadi lembut, berbalik menyayangi Maryam. Demikianlah, perlombaan untuk menyayangi Maryam terjadi di pinggir sungai Yordan. “Oh... sungai,” kata Merzangus. “Sungguh engkau seperti garis takdir yang membedakan antara yang benar dan yang salah, serigala dan domba.... Entah siapa yang tahu telah berapa banyak kejadian yang telah engkau saksikan hingga saat ini? Berapa banyak yang telah engkau telan ke dalam banjir aliran airmu? Berapa banyak yang engkau belai dengan embus angin sejuk menyegarkan dari permukaan airmu sehingga mereka pun mendapatkan kedamaian, kenyamanan, meski tidak ada pula yang tahu 133entah berapa orang yang engkau tenggelamkan hingga ke dasar aliranmu?” Oh sungai...! Sungai yang berambut panjang! “Oh sungai! Engkaulah yang telah menggenggam perintah Allah sehingga taat untuk meluap maupun menyurut, taat untuk menenggelamkan maupun mengangkat sesuatu, dan taat pula untuk memilih pena para juru tulis itu?” Jika Maryam yang masih bayi diberikan kepada al-Isya, bukankah memang dirinya yang paling tepat dan paling mulia untuk mengasuhnya? Namun, mengapa mereka yang menghardik dan menyakiti kedua orangtua Maryam saat masih hidup kini berbalik merasa memiliki hak untuk mengasuhnya? Mungkinkah hal ini terjadi? Benar, semua ini sedang terjadi. Namun, Merzangus seakan masih belum mampu mencernanya. Memahami penerimaan semua orang kepada Maryam yang akan menjadi kesaksian penting dalam kehidupannya kelak di masa mendatang. Perlombaan untuk menjadi orangtua asuh menandakan bahwa “mereka menerima Maryam sebagai bayi yang baik.” 134Tibalah saatnya untuk melempar pena ke dalam sungai. Semua pena tenggelam, kecuali satu. Tiga puluh sembilan pena tenggelam ke dasar sungai, kecuali satu. Dan pena itu atas kehendak Allah adalah milik Nabi Zakaria. Merzangus langsung dapat mengenali pena itu. Pena berhias bintik- bintik pada permukaannya. Ia pun luap dalam kegembiraan, mengangkat kedua tangannya tinggi-tinggi ke udara, melantunkan doa dan puji-pujian sembari berlari-lari kegirangan. Memang, seharusnya Maryam diasuh al-Isya, bibinya. Dengan undian itu, setiap orang pun tidak akan lagi protes. Semua orang harus rela karena undian telah diadakan dengan adil di muka umum. -o0o- Setelah melewatkan hari-hari yang pedih, kehidupan baru Maryam mulai disusun. Al-Isya dan Merzangus mendidik Maryam penuh dengan kasih sayang. Demikian pula dengan Nabi Zakaria. Ia mengasuh Maryam seperti anak kandung sendiri hingga Maryam dapat berbicara, duduk, berdiri, dan dapat mengerjakan semua kebutuhan diri sendiri. Selang waktu yang terus berjalan, semua anggota keluarga menyadari bahwa waktu untuk menyerahkan Maryam ke masjid sebagai anak yang telah dikurbankan telah tiba. Mereka mengasuh Maryam sampai menginjak usia enam tahun. Maryam adalah anak yang jauh lebih cerdas, peka, dan perhatian dibanding anak-anak sebayanya. Daya hafalnya juga sangat kuat. Begitu mampu berbicara, ia langsung mengenal 135kehidupan belajar bersama dengan Nabi Zakaria. Selain Merzangus, al-Isya dan Zakaria adalah dua orang yang selalu melindungi Maryam. Karena itu, saat menyerahkan Maryam ke masjid, mereka meminta pengurus masjid membuatkan satu ruangan khusus untuk Maryam. Selesai sudah waktu belajar di tahap pertama bersama dengan sang bibi, al-Isya. Tibalah waktu bagi Maryam untuk melanjutkan pendidikan pengabdian di masjid. Bibinya tentu merasa berat melepasnya. Saat sang suami memberi tahu waktu itu sudah tiba, al-Isya tidak kuasa menahan tangis. Bagi sang bibi, Maryam adalah kenangan terindah yang telah ditinggalkan mendiang kakaknya. Ia ibarat angin yang selalu berembus membawa ingatan kepada kakaknya. Udara yang berembus memberikan kesegaran mengenai masa lalunya. Dialah lilin yang masih tetap menyala dari keluarga Fakuza, darah yang masih mengalirkan keturunannya, musim semi yang menghidupkan ruangan sepi dengan memberi keindahan dengan warna-warni bunga. Demikian pula dengan Merzangus. Ia telah berjanji mengabdi, menopang, dan melindungi Maryam sampai mati. Janjinya ini semakin lama semakin dipahami dengan begitu mendalam saat merenungi bagaimana cendekiawan Zahter membawanya ke al-Quds sebagai seorang yatim. Sebuah perjalanan yang membawa pesan bahwa Maryam adalah tanda pertama kedatangan berita gembira yang telah dijanjikan. Maryam harus dilindungi, dijaga. Jika ia bukan seorang anak yang telah dikurbankan, pasti Merzangus dan juga al-Isya akan selalu melindungi dan tidak akan pernah mengizinkannya keluar dari rumahnya. -o0o- 13616. Ibi Sraj, Sng Penklk Snga Saat al-Isya dan Nabi Zakaria sedang mendiskusikan waktu yang tepat untuk menyerahkan Maryam ke Baitul Maqdis, Merzangus menuntun adik kecilnya itu jalan-jalan ke alun- alun al-Quds. Tempat itu dipenuhi penduduk yang sedang melakukan aktivitas jual-beli. Merzangus ingin membelikan Maryam pita warna-warni untuk mengikat rambutnya. Tangan Maryam pun dipegang erat-erat sambil menyusup dalam keramaian. Bising teriakan para penjual terdengar keras saat memasarkan barang dagangan, seperti cermin, sisir, dan perlengkapan kecantikan lain. Merzangus melihat gelang kaki yang terbuat dari batu berwarna biru laut yang sangat disukainya. Namun, karena harganya tidak cocok, ia pun tidak jadi untuk membelinya. Ia berpindah dari toko kain ke toko alat-alat tulis. Merzangus dan Maryam asyik melihat-lihat buku tulis, botol tinta, tempat pena, dan peralatan tulis lain. Saat itulah ada seorang pedagang dari Persia memerhatikan Merzangus ketika memilih-milih tempat pena. Pedagang itu pun berseloroh kepadanya. “Memang kamu bisa baca tulis?” 137Merzangus segera menurunkan cadarnya karena sadar dirinya sudah cukup dewasa. Merzangus bersama dengan Maryam pun segera meninggalkan toko alat tulis itu. Pada masa itu, kaum wanita masih dilarang membaca dan menulis. Tak heran jika dirinya sebisa mungkin merahasiakan kemampuannya dalam membaca dan menulis. Maryam, sebagaimana biasanya, sangat tidak suka keramaian. Keresahan menyelimuti dirinya karena berada di tengah-tengah keramaian. Keningnya dipenuhi keringat. Wajahnya memandangi Merzangus yang memengangi tangannya dengan erat seolah-olah ingin berkata, Ayo segera pergi dari sini’. Tidak lama kemudian, Merzangus pun memutuskan beranjak meninggalkan pasar. Namun, begitu keluar dari gerbang pasar, Merzangus berbelok arah untuk menghampiri kerumunan yang di dalamnya terdengar lantang ke udara auman singa. Meski ada yang berteriak ketakutan, sebagian tetap bersorak kegirangan. Sementara itu, hampir semua wanita terlihat takut. Apa yang sebenarnya sedang terjadi? Saat sedikit mendekati keramaian itu, Merzangus dan Maryam melihat seorang bertubuh tinggi besar dan berkulit hitam sedang berdiri tegak. Ia berseru kepada kerumunan orang dari tengah-tengah lapangan. Dari pakaian yang dikenakannya, tampak jelas orang itu berasal dari kalangan bangsawan. Saat memerhatikan cemeti yang dipegangnya, dengan dua singa besar berada dalam kandang serta tiga ekor ular besar melingkar di dalam tembikar, orang itu pasti berasal dari daerah Magribi. Merzangus segera menarik Maryam untuk segera beranjak dari pertunjukan sirkus yang dipenuhi orang-orang. 138Namun, Maryam justru menarik tangannya agar tetap berada di pinggir keramaian untuk menonton pertunjukan. Maryam memang dikenal sangat menyayangi hewan. Bahkan, ia sering mengajak bicara kucing-kucing dan burung piaraan saudara sepupunya. Maryam juga sering terlihat bercakap-cakap dengan keledai milik Nabi Zakaria yang bernama Kaukas. Belum lagi dengan anjing dan kucing-kucing di jalanan. Maryam begitu perhatian dengan menunjukkan kasih sayangnya kepada mereka. Saat itu, tampak pawang hewan mengenakan kerudung kepala yang terbuat dari satin berwarna biru. Terselip pula bunga mawar berwarna merah di dekat telinga sebelah kanan. Ia berjalan mondar-mandir untuk menarik perhatian pengunjung dengan melecutkan cemetinya sembari membacakan puisi dengan suara lantang. Mungkinkah orang ini keturunan pengembara nomaden yang datang dari daerah sangat jauh? Saat memerhatikan kedua singa yang berlarian karena cambukan cemeti sang pawang, tanpa sadar cadar penutup muka Merzangus sedikit terbuka. Saat itulah pawang itu berbicara kepada Merzangus dengan bahasa Arab yang begitu fasih. “Wahai wanita mulia, takutkah Anda?” tanyanya. Merzangus pun menjawabnya dengan bahasa Arab yang sama fasih. 139“Tidak. Aku tidak takut. Aku hanya kasihan kepada kedua singa itu karena perlakuan Anda ini!” Mendapati jawaban dari Merzangus, sang pawang dari Magribi itu malah tersenyum riang seraya kembali bicara dengan suara lebih lantang. “Oh, Anda bisa bahasa Arab dengan begitu fasih!” Merzangus kemudian tersadar. Ia lupa kalau dirinya sedang berada di tengah-tengah Pasar Farisi. Para penjaga pasar ternyata mendengar pembicaraan mereka. “Hai kalian berdua...!” seru seorang penjaga pasar kepada Merzangus dan pawang dari Magribi itu sambil menunjukkan tongkat kayunya. “Siapa kalian berdua ini!? Dari mana asal kalian? Bahasa apa yang baru saja kalian ucapkan?” Sang pawang Magribi itu segara mendekati petugas pasar itu. “Salam hormat saya haturkan kepada Anda. Mohon maaf sebelumnya. Saya adalah Muhsin Ibni Siraj, seorang pawang pengembara yang datang ke al-Quds dari Tarablus. Ini adalah dua singa peliharaanku bernama Layl dan Syams, sementara ketiga ular ini bernama Lam, Tam, dan Syam.” Ibni Siraj lalu mengeluarkan kipas berujung bulu burung merak dari dalam lipatan jubahnya seraya melambaikannya dengan menunduk untuk kembali memberi salam penghormatan kepadanya. Merzangus pun segera membenahi cadarnya sehingga penjaga pasar itu sama sekali tidak mengenalinya. “Engkau! Wahai wanita! Tuntunlah putrimu dan segera tinggalkan tempat ini. Dan engkau, wahai pawang! Kumpulkan kedua singa dan ular peliharaanmu. Engkau harus aku bawa 140ke kantor kependudukan di Baitul Maqdis untuk diperiksa mengenai izin tinggal di kota ini,” kata penjaga pasar itu dengan suara tegas. Dengan penuh kekhawatiran, Merzangus langsung mendekap Maryam seraya membawanya pergi. Sesampai di rumah, al-Isya tampak sedang menyiapkan pakaian dan perbekalan Maryam dengan wajah begitu sedih dan mata yang basah. Malam itu, Maryam akan diserahkan ke Baitul Maqdis. Merzangus juga terlihat terguncang. Semua orang sebenarnya tahu bahwa hal ini pasti datang. Begitu pula dengan Nabi Zakaria. Meski hatinya pedih, ia mencoba bicara untuk menguatkan perasaan semua orang bahwa tidak ada hal yang perlu dirisaukan. Ia yakin Allah adalah sebaik-baik Zat yang akan melindungi Maryam, termasuk dirinya dan juga yang lain. “Engkau adalah saudara Nabi Daud wahai Zakaria! Bukankah engkau tahu bahwa orang-orang yang selama ini memusuhi kita bermukim di dalam Baitul Maqdis? Apakah al-Quds masih seperti yang dulu sehingga kita berani memercayakannya kepada para rahib di sana? Bukankah kita semua tahu bahwa mereka tidak lain tangan kanan penguasa Romawi? Mungkinkah kita akan memercayai mereka sebagai ayah dan juga ibu baginya?” tanya al-Isya dengan nada sedih. “Ah, istriku! Bersabarlah! Di sana juga banyak orang yang mencintai Maryam. Janganlah engkau khawatir!” jawab Nabi Zakaria. Di antara semua orang, hanya Maryam yang tetap tersenyum. Dirinya tampak tegar dan berserah diri kepada 141

maryam bunda suci sang nabi pdf